Friday, June 23, 2006

Selalu Ada Saat Pertama….

Aku nggak keterima kerja di sebuah koran nasional terbesar. Sebagai wartawan atau reporter mula. Info ini kudapat dari teman yang juga ikut test. Sore tadi dia ditelepon bagian HRD, sedangkan aku tidak. Dari awal seharusnya aku sadar ya kalo jadi wartawan kayaknya gak mungkin buat aku. Teman-teman pelamar lainnya sudah bekerja sebagai wartawan- di berbagai media. Sedangkan aku? P

Pengalaman pertamaku menulis dimulai saat masih kelas 1 SMP lewat ekstrakulikuler Majalah. Waktu itu aku lebih banyak menulis puisi untuk ditempel pada Mading sekolah. Untuk majalah versi cetaknya aku malah lebih banyak memberi ilustrasi gambar. Kemudian saat kuliah aku mendapat kesempatan untuk membuat bulletin mudika di gerejaku. Pada saat itu aku menjabat sebagai Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi Mudika Paroki dan ide membuat bulletin berasal dari bidangku. Walaupun hanya sempat mengeluarkan 2 edisi, aku kembali bergabung di bulletin tersebut pada masa kepengurusan selanjutnya.

Di bulletin mudika yang baru ini setiap bulannya aku harus menghasilkan paling tidak satu tulisan. Hal ini membuatku mulai terbiasa menulis. Menulis rasanya sangat menyenangkan. Apalagi menjelang deadline, ide-ide biasanya malah baru muncul he he he… Selama dua tahun tulisan-tulisanku bisa dibaca oleh banyak orang. Selama dua tahun pula aku bisa melihat bagaimana reaksi dan komentar orang terhadap tulisanku. Ada yang bilang bagus, menyentuh, memberi informasi. Ada juga yang bilang membosankan. Semua komentar kutampung dengan baik dan kujadikan cambuk untuk terus menulis.

Proses menulisku mengalami kemandegan ketika aku bekerja di Jogja. Aku gak punya computer di kost-kostan, sedangkan aku terbiasa menulis pakai computer. Bolpoint dan kertas tidak berguna banyak untukku. Tapi untuk tugas-tugas kantor aku masih dapat menggunakan kemampuan menulisku. Untuk membuat peraturan perusahaan dan peraturan-peraturan baru, juga saat menulis proposal untuk membuat kegiatan kantor. Seandainya bos-ku memperbolehkanku mengerjakan tulisan setelah jam kantor.. tapi dia selalu berpendapat lembur itu tidak baik. Kalau bisa semua pekerjaan selesai pada jam lima sore. Setelah itu pulang dan istirahat di rumah.

Kemudian setelah aku kembali ke Jakarta setelah melepaskan pekerjaan di Jogja, aku membaca sebuah iklan lowongan menjadi wartawan atau reporter mula. Di situ tertulis prasyarat aktif di kegiatan penulisan di kampus. Menurutku ini kesempatan bagus untuk kembali menulis, apalagi bekerja dalam bidang penulisan. Karena biasanya iklan-iklan yang mencari reporter menginginkan mereka yang sudah berpengalaman kerja sebagai reporter, sedangkan pengalaman kerjaku kemarin adalah sebagai personalia.

Tes pertama adalah wawancara awal dengan bagian HRD dan staf redaksi. Aku lolos wawancara awal. Selama seminggu kedepan berikutnya aku mengikuti tes bahasa dan psikotest. Aku lolos lagi. Pelamar-pelamar yang lain sebagian besar sedang bekerja sebagai wartawan di media massa lain. Pada saat tes kesehatan aku baru tahu bahwa 8 orang dari 12 pelamar yang lolos ke tahap test kesehatan adalah wartawan-wartawan yang masih kerja di media. Gosh! Pengalaman mereka pasti sudah banyak sekali, dibandingkan aku yang bisa dibilang masih nol di bidang penulisan media massa.

Saat itu aku hanya berpikir bahwa akan selalu ada saat pertama bagi setiap orang dalam menjalani sesuatu. Ada saat pertama kita belajar berbicara, ada saat pertama kita berpacaran, ada juga saat pertama kita nabrak orang waktu naik motor. Selalu ada saat pertama dalam segala hal, entah itu buruk atau baik. Intinya aku merasa bahwa selalu ada saat pertama bagiku untuk menjadi reporter. Apalagi di lowongan tertulis bahwa koran nasional tersebut mencari reporter mula dan akan diberi pendidikan menulis.

Setelah test kesehatan ada wawancara terakhir dengan dewan redaksi, staf diklat, dan staf HRD. Pengumuman diterima atau tidaknya sebagai wartawan paling tidak ya akhir minggu ini. Karena minggu depan sudah mulai pendidikan. Ternyata sampai malam ini aku tidak mendapat telepon dari bagian HRD koran tersebut. Sedangkan temanku yang lain sudah ditelpon. Rasanya sedih banget. Aku pengen nangis, tapi untuk apa. Tokh semua sudah ada jalannya masing-masing. Selalu ada saat pertama mengalami kegagalan wawancara. Kalau aku tidak diterima bekerja di koran nasional tersebut mungkin memang belum waktunya.

Aku tidak tahu setelah ini bekerja sebagai apa karena semenjak melamar di koran tersebut, seluruh konsentrasiku tercurah untuk proses seleksi. Pada saat kita gagal selalu ada saat pertama untuk bangkit kembali. Setelah ini mungkin aku akan melamar sebagai designer interior. What? Kamu kan ga ada background sama sekali di bidang design. Ha ha ha… namanya juga bermimpi. Siapa tahu suatu hari nanti ada yang membiarkanku memulai saat pertama sebagai wartawan, designer, call center girl, hakim. Whatever!

Thursday, June 22, 2006

Untitled

What happen to Indonesia? Akhir-akhir ini kok banyak sekali bencana yang terjadi. Terus terang lama-lama aku seperti mati rasa saja. Pada Desember 2004 Aceh dihajar oleh tsunami. Sedih banget rasanya. Walaupun aku belum pernah kesana, tapi aku cukup punya alasan untuk bersedih. Beberapa bulan sebelum bencana tsunami terjadi di Aceh, aku membantu teman-temanku di sebuah INGO untuk mengumpulkan sumbangan berupa buku-buku pelajaran dan bacaan untuk anak-anak Aceh. Berbagai macam cara aku coba untuk memperoleh sumbangan, lewat e-mail, pengumuman di gereja, dan dari mulut ke mulut.

Buku-buku itu aku tata dan bungkus bersama ibuku. Di setiap buku itu ada doa yang terucap dari para penyumbang untuk anak-anak Aceh. Di setiap jahitan tali raffia yang membungkus kardus buku-buku ada tetes keringat kami bagi keberhasilan anak-anak dalam belajar. Tujuh kardus kemudian sampai di Aceh pada bulan Nopember 2004, sebelum hari raya Idul Fitri. Tidak sampai dua bulan mungkin anak-anak di Aceh sempat menikmati buku-buku itu dan terjadi tsunami yang menghapus mimpi-mimpi mereka untuk menjadi orang pintar. Oh Tuhan… aku sampai tidak bisa menguapkan apapun saking sedihnya. Betapa pilu hati ini. Begitu banyak yang hancur, begitu banyak yang terhempas, begitu banyak kedukaan.

Selama setahun setelah bencana tsunami, aku bekerja di Jogja. Lewat teman-teman sebuah INGO yang berkantor pusat di Jogja, aku mendapat banyak informasi tentang perkembangan pemulihan Aceh dan juga Nias (yang beberapa bulan setelah tsunami mengalami gempa). Penduduk di sana mulai bisa bangkit, memulihkan ekonomi dan terutama memulihkan jiwa yang terguncang.

Tinggal di Jogja membuatku jatuh cinta pada kota ini. Penduduknya ramah, makanannya murah dan enak, tidak macet, kemana-mana bisa naik motor, dan banyak alasan lagi. Kantorku yang di daerah Bantul mempunyai karyawan yang sebagian besar berumah di Bantul. Jogja terdiri dari 4 kabupaten dan 1 kotamadya. Karekteristik orang-orang kabupaten Bantul berbeda dengan kota Jogja.

Gempa bumi yang terjadi di Jogja terjadi setelah aku kembali ke Jakarta. Gempa yang mengoyak-ngoyak permukaan bumi. Meluluhlantakkan bangunan-bangunan rapuh para penduduk desa. Korban bencana kali ini tentu berbeda dengan tsunami di Aceh. Apabila di Aceh banyak korban yang meninggal, di Jogja banyak sekali yang terluka. Korban yang terluka ini membutuhkan penanganan yang lebih lama. Teman-teman kantorku banyak yang menjadi tunawisma saat ini. Padahal mereka adalah orang dari golongan pas-pasan. Gaji pas untuk makan saja. Untuk nabung juga jarang bisa.

Herannya pemerintah kok lambat sekali mengatasi masalah bencana ini. Banyak yang kelaparan, kedinginan, luka-luka karena bantuan terlambat datang ke tempat mereka berada. Dana untuk makan penduduk saja ada yang dipotong oleh kepala desanya. Duh, Gusti. Terkutuklah mereka yang mencari keuntungan di dalam kesengsaraan orang lain dan biarkan Tuhan yang melakukannya, karena itu adalah hakNya. Pemerintah kok seperti kotoran di jamban yang dengan sekali pencet tombol jamban maka akan hilang dan berkumpul dengan kotoran-kotoran lain di sungai. Layak dibuang karena tidak berguna.

Bencana yang paling parah di Indonesia sebenarnya adalah bencana hutang. Pemerintah kita suka sekali berhutang. Hutang luar negeri kita begitu bertumpuk. Untuk membayar hutang yang lama, pemerintah berhutang lagi. Dana-dana yang seharusnya dipakai untuk mensejahterakan rakyat digunakan untuk membayar hutang. Bukan tidak mungkin juga bahwa dana bantuan yang diberikan Indonesia untuk negara tetangga adalah juga hasil dari hutang.

Arrggh!!!! Aku marah-marah begini juga cuma nambahin dosa buat diri sendiri. Antara kesedihan dan kemarahan jadi satu. Jadi sorry aja kalau ada yang tersinggung setelah membaca tulisan ini. Gak perlulah masukin aku ke penjara yang kemudian cuma menuh-menuhin aja akhirnya. Lebih baik kita lakuin sesuatu yang lebih berguna. Mulai dari menyetop kebiasaan korupsi. Tunjangan untuk pejabat juga sebaiknya ditiadakan. Uangnya bisa untuk bayar hutang. Stop penjualan mobil mewah dan baju-baju bermerk! Rakyat Indonesia masih banyak yang harus menempuh jarak berkilo-kilo meter untuk menuju pasar dari rumahnya, dengan berjalan kaki. Punya 5 stel baju saja sudah bagus untuk mereka, apalagi untuk pakai baju bermerk.

Kita sebagai rakyat Indonesia yang hidup di kota yang bisa menikmati enaknya ngopi di gerai kopi dari luar negeri harusnya malu. Nasi yang kita makan sehari-hari berasal dari orang-orang yang hanya bisa menikmati kopi di tepi sawah. Itu pun juga setelah beras-beras mereka bersaing harga dengan beras-beras yang dimport oleh pemerintah. Gaji yang kita dapatkan setiap bulan mungkin lebih baik 20% dipotong dan dimasukkan ke dana sosial untuk rakyat. Dana tersebut bisa digunakan untuk kesejahteraan masyarakat dan sebaiknya TIDAK dikelola oleh pemerintah.

Aku memimpikan adanya sekolah gratis dan juga rumah sakit gratis untuk rakyat. Tetapi bukan sekolah gratis yang beratap langit dan gurunya hanya satu untuk dua kelas. Sekolah yang bangunannya baik, perpustakaan lengkap, gurunya pun banyak dan sejahtera. Anak-anak belajar untuk ilmu pengetahuan, bukan untuk mengejar nilai kelulusan Ujian Nasional. Rumah sakit gratis juga harus lebih banyak sehingga mudah dijangkau rakyat dan dokter-dokter dari kota juga sebaiknya mau ditempatkan di daerah (tidak mengejar balik modal karena biaya sekolah dokter yang mahal).

Kapan ya bisa seperti itu? Kapan ya Tuhan, dunia ini menjadi sempurna seperti impian banyak orang? Sepertinya tidak akan bisa menjadi sempurna, tapi kita dapat mengusahakan agar dunia kita bisa menyerupai sempurna. Terlalu idealis? Jawabannya ada di hati kita masing-masing.