Wednesday, November 29, 2006

AKU INGIN PULANG


Perjalanan ini sepertinya tidak akan berakhir
Langit biru, angin yang menerpa
Wajah orang silih berganti di mataku
Kapankah ini berakhir?

Tiap tempat sudah kudatangi
Tiap jalan sudah kutapaki
Bahkan tiap kedai pun sudah kucoba

Aku cuma ingin damai
Damai yang tak kudapatkan di keramaian
Damai yang tak kudapatkan dari langit biru
Damai yang hanya kudapatkan darimu

Aku ingin pulang
Ke tempatmu
Dimana langit biru menjadi damai kita bersama


*Christie Nathalia*
29/11/2006

Saturday, November 11, 2006

Panggil Aku Maya

Panggil aku Maya atau May, atau bisa juga May May. Terserah orang mau memanggilku apa. Ibu dan ayahku biasa memanggilku Sri. Sariyem Sri Handayani Prasetyoko adalah nama yang tercantum di akte kelahiranku. Nama yang tidak pernah kusukai semenjak aku pindah sekolah ke Jakarta. Nama yang terlalu berbau Jawa dan kampungan. Maaf, bukannya aku benci pada kampungku, hanya aku merasa namaku agak ndeso, gak modern. Ibuku saja namanya lebih modern, Cicilia Andiriani Wijanarko, sedangkan ayahku Gatot Adi Prasetyoko. Tidak kampungan dan lebih modern. Herannya kenapa mereka bisa memberiku nama Sariyem Handayani seperti ini.
Sudah sepuluh tahun aku menggunakan nama Maya bila berkenalan dengan orang lain. Nama Sariyem Sri Handayani hanya tercantum pada KTP, SIM, rekening bank, ATM, kartu kredit dan identitas lain. Untungnya kantorku memperbolehkanku memakai nama Maya di ID card karyawan. Seluruh karyawan di kantorku, kecuali bagian HRD, juga tahunya aku bernama Maya. Mbak Maya, begitu mereka biasa memanggilku.
Saat ini pukul 19:00 dan aku sedang menunggu Joko di sebuah cafe dekat kantor. Dia lelaki yang sudah lima bulan ini menemani hari-hariku. Jangan tanyakan tentang namanya yang rada kampungan itu. Kalau kalian bertemu dengannya pasti tidak akan banyak protes dengan nama Joko itu. Badannya tegap, dadanya bidang, giginya rapih dan putih, wajahnya tentu saja tidak sekampung namanya. Mirip-mirip Jude Law. Itu dia datang dengan senyum manisnya dan kemeja biru tua favoritnya. Bersamanya aku merasa nyaman.
Pertemuanku dengan Joko terjadi saat aku sedang mempresentasikan beberapa contoh iklan yang telah kantorku kerjakan. Kantor Joko adalah salah satu klien baru perusahaan advertising tempatku bekerja. Maya, demikian aku memperkenalkan diriku pada Joko. Tentu saja waktu itu aku memanggilnya Pak Joko. Waktu itu Joko hanya tersenyum dan menatapku dengan tajam. Rasanya aku pernah memandang wajahnya entah dimana. Tapi aku tidak terlalu memikirkan hal itu karena berkonsentrasi sekarang pada presentasiku.
Keesokan harinya kantorku dihebohkan dengan adanya kiriman satu lusin karangan bunga Lily. Hei! Itu bunga favoritku. Beruntung sekali orang yang mendapatkannya. Resepsionis katanya sempat menolak bunga-bunga itu karena nama orang yang tercantum pada karangan bunga itu tidak ada di kantor ini. Si pengantar bunga tetap ngotot mengantarkan bunga tersebut karena katanya sudah dibayar dan alamatnya jelas tertera kantor ini. Akhirnya beberapa temanku mengambil karangan bunga tersebut dan menaruhnya di meja mereka masing-masing. Termasuk aku sendiri tentunya, tanpa tahu siapa si pengirim karena si pengantar bunga merahasiakannya.
Kemudian selama hari-hari berikutnya kiriman bunga itu terus datang. Kantorku sampai penuh sesak dengan bunga Lily. Bayangkan, setiap hari satu lusin karangan bunga. Karena penasaran, aku bertanya pada bagian resepsionis untuk siapa karangan bunga tersebut ditujukan. Bunga-bunga itu semua untuk Sariyem Sri Handayani. Sariyem Sri Handayani... Sa..ri...yem... Sri.. Han... da... dan tiba-tiba semuanya begitu gelap.
Bangun-bangun aku ternyata aku berada di sofa ruang meeting dengan ibu kepala HRD, Ibu Ida, disampingku. Astaga... tadi aku pingsan karena saking kagetnya mendengar namaku sendiri. Ibu Ida hanya tersenyum dan memberiku teh manis hangat. Beliau bilang tidak ada salahnya menerima dan mengakui nama yang telah diberikan orangtuaku karena tiap nama mempunyai arti dan harapannya masing-masing. Hari itu aku diijinkan pulang lebih cepat dengan diantar supir kantor. Ibu Ida yang baik tetap menjaga kerahasian nama asliku.
Sesampainya di rumah, ibuku bertanya kenapa pulang lebih cepat dari biasanya. Aku cuma bilang pusing dan langsung masuk kamar. Diam-diam aku menangis, benci dengan kepengecutan diriku untuk mengakui namaku sendiri. Umurku sudah 25 tahun dan sampai sekarang belum pernah menjalin kasih dengan siapapun. Hari-hariku diisi dengan mengejar karier. Sekarang ada seseorang yang mengirimiku lusinan bunga Lily dan aku tak bisa mengakui kalau bunga-bunga itu dikirimkan untukku. Aku tidak sanggup membayangkan apa tanggapan teman-teman kantorku kalau mbak Maya yang cantik, mbak Maya yang modis, mbak Maya yang sanggup meyakinkan klien dengan sekali presentasi, ternyata namanya Sariyem Sri Handayani.
Akhirnya aku jatuh tertidur dengan ditemani berbagai bayangan menakutkan didalam kepalaku. Aku terbangun oleh ketukan pada pintu kamarku. Ibuku bilang ada tamu dan katanya laki-laki. Mungkin teman kantorku karena berpakaian kemeja rapi. Hmm... siapa ya kira-kira yang datang menengokku. Biasanya teman-teman kantorku takut dekat-dekat denganku yang katanya galak. Mungkin karena itu juga aku sulit dapat pacar. Cantik dan galak bukanlah perpaduan yang cocok untuk dijadikan pacar.
Ternyata tamuku adalah Pak Joko. Dia datang karena katanya tadi mencariku di kantor dan mendapat keterangan bahwa aku pulang cepat karena sakit. Joko, kemudian dia memintaku memanggilnya tanpa embel-embel Pak, mengajakku makan malam hari Sabtu besok. Herannya aku mengiyakan saja, seperti sudah tersihir oleh pesonanya. Astaga, Joko ini ganteng sekali kalo dilihat, obrolan kami pun sudah seperti teman lama saja.
Semenjak aku jatuh pingsan, karangan-karangan bunga itu tidak pernah datang lagi. Hubunganku dengan Joko pun semakin dekat semenjak makan malam  di hari Sabtu itu. Aku pun juga mulai melupakan tentang lusinan karangan bunga, entah siapapun pengirimnya, dan pagi ini setelah lima bulan berlalu tiba-tiba kantorku mendapatkan lima lusin karangan bunga Lily yang ditujukan untuk Sariyem Sri Handayani. Ibu Ida hanya menatapku tajam dan aku hanya bisa pura-pura tidak peduli dengan bunga-bunga tersebut.
Teman-temanku pun mulai berceloteh: senang sekali si Iyem yang dapat bunga-bunga ini, dari kampung mana dia, kenapa bisa nyasar ke Jakarta, jangan-jangan dia itu Office Girl kantor sebelah yang dikejar-kejar Pak Lurah dari kampung, dan beberapa celotehan yang membuat kupingku panas. Ingin rasanya aku menghajar orang yang mengirim bunga-bunga tersebut.
Itu adalah kejadian pagi ini, dan sekarang didepanku ada Joko yang baru saja datang. Tiba-tiba didepanku ada seikat bunga Lily putih. Ini untukmu, kata Joko. Bunga favoritmu dari dulu. Darimana Jaka tahu bunga favoritku dan kenapa tiba-tiba dia berlutut didepanku? Joko mengeluarkan cincin dari sakunya dan mengatakan, “Sariyem Sri Handayani Prasetyoko, maukah kau menemani hari-hariku sebagai istriku?” Sariyem.... darimana dia tahu nama Sariyem itu dan bunga-bunga Lily ini. Jangan-jangan.... dan semuanya pun menjadi gelap lagi. Aku hanya sempat mendengar Joko mengatakan bahwa dia teman masa kecilku di kampung.


*Christie Nathalia*
 ini cerpen yg pernah dimuat di majalah SPICE edisi April '07.