Aku tidak
menyangka akan mendengar lagi lagu ini. Terutama di tempat yang tidak pernah
terbayangkan. Komplek pemakaman. Ya, saat ini aku sedang berada di komplek
pemakaman di selatan kota
Jogja dengan seikat bunga segar berada di tanganku. Saat melewati mobil Honda
Jazz silver lagu Dealova-nya Once terdengar dari dalam mobil yang terparkir di
komplek tersebut.
Jendela mobil
yang terbuka membuatku bisa dengan jelas mendengar lagu itu. “Aku ingin menjadi sesuatu yang mungkin bisa
kau rindu.… Kau seperti nyanyian dalam hatiku yang memanggil rinduku padamu.
Seperti udara yang ‘ku hela, kau selalu ada. Hanya dirimu yang membuatku
tenang. Tanpa dirimu kumerasa hilang dan sepi…”
Ingatanku
kembali pada dua tahun yang lalu saat awal bekerja di kota gudeg ini. Aku masih bisa dengan jelas
mengingat aroma tubuhnya. Tanganku juga masih merekam genggaman tangannya yang
erat kala aku berjalan disampingnya. Aku benar-benar masih merindukannya.
Merindukan Reno.
Saat itu dia dan
aku bekerja di kantor yang sama. Aku di bagian keuangan, dia bagian pemasaran.
Kedekatan kami terjadi karena sebagai kepala bagian pemasaran dia sering
berdiskusi denganku mengenai perkiraan harga barang yang kantor kami produksi.
Mulanya hanya
makan siang bersama teman-teman kantor juga, tapi lalu berlanjut ke makan malam
yang hanya berdua saja.
“Cynthia, nanti
malam ada acara? Aku ingin mengajakmu makan malam di luar.”
Saat itu aku
begitu kaget dengan ajakan Reno
dan tanpa sadar kepalaku malah mengangguk. Jadilah malam itu jam tujuh tepat
dia sudah menunggu di pintu pagar kost-ku. Reno memakai kemeja warna merah marun dan
jeans hitam. Aku sungguh mengagumi penampilannya malam itu. Kulitnya yang
putih, kalau tidak mau dikatakan pucat, begitu kontras dengan warna kemejanya.
Malam itu ternyata
menjadi saat pertama dan terakhir bagiku untuk bisa makan malam berdua. Karena
seminggu setelah itu Reno
masuk rumah sakit. Kejadiannya begitu tiba-tiba karena Reno ditemukan pingsan di ruang arsip dan
segera dilarikan ke rumah sakit. Teman-teman yang tahu aku dekat dengan Reno langsung memintaku untuk ikut mengantar Reno dalam mobil ambulans.
Hatiku saat itu
begitu kalut dan pada saat itulah aku menyadari bahwa ternyata aku sudah sejak
lama mencintai dia. Aku dapat begitu dengan mudah mengingat setiap detil dari
dirinya. Cara dia berjalan, tatapan matanya kala menatapku, aroma tubuhnya
setiap kali selesai bermain badminton dengan teman kantor. Semuanya begitu
jelas terekam di otakku.
Dokter
mengatakan bahwa Reno
terkena penyakit kanker darah atau Leukimia. Hal ini diketahui dokter rumah
sakit setelah mengontak rumah sakit di Jakarta
tempat Reno
biasanya menjalani perawatan radiasi. Sudah setahun ini Reno tidak pernah menjalani perawatan lagi.
Memang Reno termasuk karyawan yang rajin. Cutinya dalam setahun ini masih
banyak tersisa, alias tidak pernah diambil.
Hari itu juga
keluarga Reno dari Jakarta mulai berdatangan. Aku tidak pernah
tahu bahwa keluarga Reno ada di Jakarta, bahkan aku tidak
tahu kalau mereka termasuk keluarga pejabat. Aku cuma tahu Reno yang tinggi, putih, bermata jenaka, dan
sederhana yang tinggal di kost daerah Gedong Kuning, bersama anak-anak
mahasiswa.
Ibu Reno begitu
melihatku langsung menghampiriku.
“Oooh, jadi ini
yang namanya Cynthia. Gara-gara kamu, anak laki-laki saya satu-satunya bisa
mati! Sudah satu tahun ini kami sekeluarga mencari dia kemana-mana,” cecar ibu Reno.
“Pasti
karena ketemu kamu dia jadi tidak mau pulang ke Jakarta!”
“Sudahlah,
Bu. Ini di rumah sakit. Sebaiknya kita segera mencari dokter yang merawat Reno,” ajak seorang perempuan yang kemudian aku ketahui
sebagai adik Reno.
Penyakit
Reno yang parah membuatnya dalam keadaan koma selama seminggu. Pada hari ke
enam semenjak Reno
memasuki masa koma, seorang temannya memberiku sebuah CD. Katanya Reno yang
menitipkan padanya dan menyuruh memberikan padaku jika suatu saat dia masuk
rumah sakit dan tak sadarkan diri.
Aku
langsung lari ke toko kaset terdekat dari rumah sakit dan meminjam alat pemutar
CD dan begitu headphone aku taruh di kepala, aku mendengar suara Reno.
“Cynthia
sayang, jika aku boleh memanggilmu seperti itu, saat ini pasti aku sedang dalam
keadaan tak sadar sehingga kamu bisa mendapat CD ini. Sayangku, maafkan aku
jika tidak pernah menceritakan tentang penyakitku padamu. Aku cuma tidak ingin
membuatmu khawatir, apalagi aku baru mengenalmu selama 6 bulan. Aku tidak ingin
membebanimu dengan masalahku.
Cyn,
sejak pertama aku mulai bekerja di kantor kita ini, aku sudah terpesona padamu.
Kamu begitu anggun, lembut, tapi juga sekaligus tegas. Aku mengagumi kepribadianmu
yang sederhana. Sangat berbeda dengan keadaan keluargaku. Tapi justru itu yang
membuatku tertarik padamu.
Mungkin
aku memang tidak punya keberanian untuk mengatakan bahwa aku mencintaimu,
sehingga membuat CD ini untukmu. Tapi yakinlah bahwa kehadiranmu di sisiku saat
ini sudah sangat membuatku merasakan hidup yang sesungguhnya.
Diagnosis
dokter enam bulan yang lalu membuatku ingin melupakan segalanya. Kemudian aku
lari dari Jakarta,
meninggalkan keluargaku. Aku ingin menjalani kehidupan lain, dan saat itulah
aku bertemu dengan dirimu. Aku mulai merasakan semangat hidup lagi. Aku ingin
selalu berada disisimu, menjalani hidup bersamamu.
Mungkin
aku harus kalah oleh penyakit ini. Aku harus terbaring di rumah sakit dan tak
menyadari kehadiranmu lagi. Sebelum aku mulai tak bisa merasakan segalanya,
maukah kamu menggenggam tanganku apabila kamu menerima perasaanku ini? Tapi
apabila kamu hanya menganggapku sebagai teman biasa, cukuplah CD ini kau buang
di tempat sampah. Aku akan pergi dengan damai bagaimanapun perasaanmu padaku.
Cynthia
sayang, aku akan selalu merindukanmu. Terima kasih atas semua pelajaran hidup
yang pernah aku rasakan saat bersamamu. Aku, Reno, akan mencintaimu selalu.”
Begitu
headphone kulepaskan dari kepala, lagu Dealova terdengar di ruangan.
“Aku ingin menjadi sesuatu yang mungkin bisa
kau rindu.… Kau seperti nyanyian dalam hatiku yang memanggil rinduku padamu.
Iya,
Reno, aku
mencintaimu dan akan selalu merindukanmu. Aku langsung berlari ke rumah sakit.
Tanpa mempedulikan ibu Reno yang memandangku
dengan tatapan sinis, aku menggenggam tangan Reno dan kubisikkan di telinganya bahwa aku
juga mencintainya. Keesokan harinya Reno
meninggal dengan tenang.
Untuk
melupakan kenangan pahit itu aku pindah ke Jakarta. Namun, tahun ini aku begitu ingin ke
Jogja dan ternyata Reno
‘menyambutku’ dengan lagu itu. Sesaat aku bergeming. Sebuah tangan tiba-tiba
merangkul pundakku.
“Ayo,
Cynthia. Kita harus ke makam Reno
untuk meminta restu darinya.”
Itu adalah Andi. Dia adalah
lelaki yang mencoba menghilangkan luka di hatiku, bahkan dia pula yang
mengajakku ke Jogja. Dia dapat merasakan bahwa Reno masih berarti di hidupku.
Aku
menoleh ke samping dan memandang wajahnya. Tak ada alasan bagiku untuk takut
mencintai Andi. Aku hanya takut merasakan rasa kehilangan lagi. Sudah dua tahun
berlalu. Aku harus melupakan luka itu dan tetap mengenang Reno di hatiku.
Tanganku
menggenggam tangan Andi dan kami menuju ke makam Reno. Akan aku tinggalkan semua lukaku di sana dan menjalani hidup
baru bersama Andi. Aku yakin Reno
juga menginginkan aku bahagia.
*Christie Nathalia*
(19 January 2008)