Sunday, November 30, 2003

Mengapa Saya Tertarik Menjadi PENULIS?

Penulis bagi saya adalah seorang yang bebas dalam mengekspresikan perasaannya, pikirannya dan keinginannya. Dengan menjadi seorang penulis saya juga sekaligus belajar untuk lebih peka dengan lingkungan sekitar. Kepekaan itu akan menghasilkan pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan tertentu dalam diri saya. Keinginan untuk membebaskan pikiran dan perasaan itu tersalurkan dengan menuangkannya dalam bentuk tulisan. Sehingga orang banyak dapat mengetahuinya.

Memang, banyak orang mengatakan bahwa saya cenderung lebih ekspresif lewat tulisan. Tapi dalam beberapa bulan terakhir ini saya mulai menyadari bahwa untuk menjadi penulis yang baik haruslah dapat mengekspresikan pikiran dan perasaan tidak hanya lewat tulisan. Saya ingin menjadi penulis yang baik sekaligus juga komunikator sejati seperti Yesus Kristus. Proses belajar untuk jadi penulis tidak akan berhenti di usia saya yang hampir 23 tahun. Proses untuk menjadi seorang penulis ini akan berlangsung seumur hidup. Menjadi penulis berarti harus siap untuk jujur dengan orang lain maupun diri sendiri.

Wednesday, November 12, 2003

In Loving Memories of Pater Albertus Setiawan Gani SJ

Selasa, 21 Maret 2003 sekitar pukul 08:30 saya mendapat sms dari ibu saya yang mengabarkan bahwa Rm. Albertus Setiawan Gani SJ, telah wafat. Saat itu saya sedang berada di Jogja. Ini sepertinya mustahil karena saya tahu Rm. Gani dalam keadaan sehat-sehat saja. Beberapa minggu sebelumnya bahkan masih ikut ziarah ke Gua Maria yang ada di Jawa Tengah bersama kelompok SADHANA St. Anna.

Berdasarkan surat yang dikeluarkan Serikat Jesus Provinsi Indonesia, dituliskan bahwa pada Selasa, 21 Oktober 2003 beliau jatuh pada saat pergi ke kamar mandi dan tidak sadarkan diri. Pada pukul 08:00 Rm. A. Setiawan Gani SJ menghadap Bapanya di Surga dengan damai dan bahagia di RS St. Carolus, Jakarta. Saat ini beliau pasti telah berjumpa dengan Yesus dan Maria, hal yang sangat didambakan sepanjang hidupnya selama 67 tahun.

Lahir di Jakarta pada tanggal 17 Juni 1936 sebagai putra pertama dari pasutri Bapak Gani Gan Tiam Tek dengan Ibu Dina Rusli (Lie Giok Kie), romo yang berbintang Gemini ini mempunyai hobi berdoa, main piano/organ, dan membaca. Koleksi buku yang dimilikinya cukup banyak sehingga beliau merupakan nara sumber segala hal yang sifatnya spiritual. Selain itu beliau juga sangat senang apabila diminta untuk memberikan retret. Membina kerohanian orang lain adalah hal yang sangat dianggap penting olehnya.

Dari tahun 1998 beliau mulai bertugas di St. Anna sampai dengan bulan April 2003, dan kemudian bertugas sebagai Ekonom Kolese Hermanum, Jakarta. Di sela-sela kesibukannya di Kolese Hermanum, beliau masih menyempatkan diri sesekali datang ke St. Anna untuk membina kelompok SADHANA. Hubungan romo dengan para sadhanawan cukup dekat karena beliau membimbing mereka secara pribadi dan individual.

Selama lima tahun bertugas di St. Anna, pandangan umat terhadap beliau berbeda-beda. Ada yang menyebut Rm. Gani itu galak, ngomongnya tegas tanpa basa-basi, sehingga beberapa umat ada yang merasa sakit hati dengan beliau. Padahal jika umat mau mengenal Rm. Gani lebih dekat dan lebih dalam maka umat akan mengetahui bahwa sebenarnya beliau tidak galak, malah ramah dan suka melucu juga.

Di mata pada sadhanawan, Rm. Gani adalah romo yang sangat disiplin dan konsisten. Beliau tidak sekedar berkotbah saja tanpa melakukan, tapi setiap lakunya mencerminkan apa yang dikatakannya. Polos dan lugu karena selalu berpikir positif yang menyebabkan beliau gampang ditipu dan dipermainkan. Tapi dengan tenangnya Rm. Gani hanya berkata, “Saya memang bisa ditipu, tapi Tuhan tidak bisa ditipu.”

Beliau juga tidak suka apabila diberi hadiah yang mahal-mahal karena beliau menghindari segala hal yang sifatnya berlebihan. Pernah ada seorang ibu yang memberikan beberapa helai baju baru pada beliau, tapi karena beliau tidak merasa membutuhkannya, baju tersebut kemudian diberikan pada para frater. Sifat rendah hati dan sederhananya ini juga terlihat dari kesenangannya mengendarai motor dan sepeda daripada naik mobil, sesuatu hal yang jarang kita temui pada romo-romo lain di Jakarta.

Rm. Albertus Setiawan Gani SJ, kepergianmu terasa begitu cepat. Kami semua di sini akan sangat merindukanmu. Terima kasih atas teladan yang telah engkau berikan pada kami, “Ad Maiorem Dei Gloriam: Semua Hanya Untuk KemulianNya.”

“Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan.” (Roma 14:8)

Monday, November 10, 2003

ONE LOVE, ONE SPIRIT, ONE GOD

Toleransi antar umat beragama adalah kalimat yang selalu diulang-ulang di pelajaran PMP atau PPKN. Ngucapinnya sih gampang, tapi prakteknya susah. Padahal kalimat ini dari SD sampai SMU selalu diulangi lagi. Hasilnya, masih tetap saja ada konflik antar umat beragama. Lalu salahnya di siapa? Guru atau muridnya?

Menurut saya sih tergantung dari iman yang dimiliki. Setiap orang punya hak asasi bebas memilih agama. Tapi agama saja tidak cukup untuk membuat orang jadi mengerti apa arti toleransi sesungguhnya. Yang dibutuhkan adalah iman yang menjadi dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat (Ibrani 11:1).

Kenapa? Karena biasanya kita suka menganggap agama kita lebih hebat dari agama lain, agama yang membawa ke jalan keselamatan, jaminan untuk masuk surga, dll. Lalu kita mulai membeda-bedakan agama kita dengan agama lain. Kita jadi lebih bisa mengasihi dan toleran dengan orang-orang yang seagama dengan kita.

Agama boleh beda, tapi iman harus tetap satu. Kita kan diciptakan oleh Allah yang satu. Tidak ada Allah lain bagi kita. Iman membuat kita percaya akan Allah. Iman pulalah yang membuat kita bisa merasakan kasih Allah di dalam hidup kita. Oleh karena itu toleransi akan terwujud apabila ada kasih Allah di dalam hidup kita..

Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita. Jikalau seseorang berkata: “Aku mengasihi Allah,” dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya (1 Yohanes 4:19-20).