Friday, December 29, 2006

Doa Mohon Kehancuran Agama

Aku menemukan sebuah puisi yang menurutku sangat bagus untuk direnungkan bersama. Puisi ini berisi doa getir. Sayang… tidak ada nama sang pengarang. Semoga bisa menjadi permenungan untuk kita semua di akhir tahun 2006 ini.

Doa Mohon Kehancuran Agama (Jerman, 18.02.06)

Kepada Allah yang dipuja di label dunia atas nama agama
Diagung-agungkan sebagai pencipta dan pengatur semesta

Aku mohon kehancuran agama

Jika atas nama agama tidak ada
penghargaan martabat atas sesama manusia

Jika atas nama agama, ada yang terluka bahkan mati binasa
terinjak injak oleh bejat dan nafsu belaka
bahkan oleh teriak para pemangku agama

Jika salaman saja bagi yang berbeda
menjadi sia-sia dan nista hukumnya

Jika kedatangan sesama manusia
menjadi berjarak hanya karena beda agama

Jika karena pantang-pantang,
persaudaraan menjadi baur mengudara

Jika manusia telah menjadi allah atas sesamanya
Jikapun dengan cara demikian orang masuk surga,
maka akulah orang yang pertama memilih masuk neraka

Sekali lagi aku mohon kehancuran agama

Tuesday, December 26, 2006

Bip bip bip…



Bip bip bip…
Bunyi SMS masuk
Pesan kubaca
Kuterpana..
Kita putus aja ya

Cintaku berakhir di bip bip bip…
Begitu elektroniknya cinta itu


*Christie Nathalia*
26/12/2006

Ketika ‘Ku Hitam


Akankah kau mengenaliku di surga sana?
Jika semuanya tampak begitu sempurna
Begitu indah dan damai
Terang gemilang

Akankah kau mengenaliku yang hitam ini?
Penuh dengan air mata kesedihan
Amarah yang menggelegak
Iri hati yang membusuk

Akankah kau menyambutku lagi…
dengan sayap keemasanmu?
Menyelimutiku dengan kedamaian
Seperti dulu… ketika kumasih putih
dan berada dipelukanmu

Akankah kau melihatku diantara terangmu?
Ketika ku hitam
Andai iya…
Ijinkan aku menjadi bayangan darimu
Mengikutimu kemanapun
Dan aku pun kembali menjadi putih dalam terangmu


*Christie Nathalia*
26/12/2006

Thursday, December 21, 2006

SEPI YANG RAMAI


Sepi…
     Kenapa ada sepi?
Mungkin karena ramai
    Sepi yang ramai
    Ramai yang sepi

Sepi yang datang beramai-ramai
Ramai hinggap pada sepi

     Hingga sepi pun berlalu
     Meninggalkan ramai…

*Christie Nathalia JS*
21/12/2006

Tuesday, December 19, 2006

PANASEA-KU


Aku ingin menikmati
Saat-saat menatap kau pergi
Menatap punggungmu
Menghirup harum tubuhmu
Untuk yang terakhir kali

Karena saat kau akan pergi..
Maka hilanglah panaseaku
Yang selalu mengobati
Malam-malam insomniaku
Sang waktu akan berjalan lambat
Mentari tak lagi ceria
Rembulan pun malu menatapku

Ijinkan aku menatapmu
Walau hanya punggungmu
Yang terekam di pelupuk mataku
Tapi harum tubuhmu…
Akan selalu ada saat hujan membasahi bumi


*Christie Nathalia JS*
19/12/2006

Tuesday, December 12, 2006

Aku Tiada



Aku benci hidupku
Aku benci menjadi hidup
Aku benci menjadi sesuatu yang ada
Aku ingin hilang

Menjadi senyap
Pekat
Tak berbayang
Tak ada
Tak hadir
Tak berbau

Mungkin dengan begitu aku bahagia?
Dengan ketiadaanku…


*Christie Nathalia*
12/12/2006

Thursday, December 07, 2006

gadis kapas


Gadis kapas lembut halus
Mengawang-awang
Terbang ke langit biru
Ditemani angin semilir

Gadis kapasku
Putih dan lucu                       
Menari-nari di taman
Tertawa-tawa

Hmm.. gadis kapasku
Mungil, imut-imut
Gadisku... adikku yang manis


*Christie Nathalia*

Wednesday, December 06, 2006

Senja Bersamamu


Aku menantimu di batas senja.
Di pantai ini…
Dimana mentari meredupkan sinarnya
Dan air laut menggapai kakiku
Masih adakah senjamu untukku…
Disaat langit berbalut jingga keemasan
Aku ingin senja bila hanya bersamamu


*Christie Nathalia*
6/12/2006

Wednesday, November 29, 2006

AKU INGIN PULANG


Perjalanan ini sepertinya tidak akan berakhir
Langit biru, angin yang menerpa
Wajah orang silih berganti di mataku
Kapankah ini berakhir?

Tiap tempat sudah kudatangi
Tiap jalan sudah kutapaki
Bahkan tiap kedai pun sudah kucoba

Aku cuma ingin damai
Damai yang tak kudapatkan di keramaian
Damai yang tak kudapatkan dari langit biru
Damai yang hanya kudapatkan darimu

Aku ingin pulang
Ke tempatmu
Dimana langit biru menjadi damai kita bersama


*Christie Nathalia*
29/11/2006

Saturday, November 11, 2006

Panggil Aku Maya

Panggil aku Maya atau May, atau bisa juga May May. Terserah orang mau memanggilku apa. Ibu dan ayahku biasa memanggilku Sri. Sariyem Sri Handayani Prasetyoko adalah nama yang tercantum di akte kelahiranku. Nama yang tidak pernah kusukai semenjak aku pindah sekolah ke Jakarta. Nama yang terlalu berbau Jawa dan kampungan. Maaf, bukannya aku benci pada kampungku, hanya aku merasa namaku agak ndeso, gak modern. Ibuku saja namanya lebih modern, Cicilia Andiriani Wijanarko, sedangkan ayahku Gatot Adi Prasetyoko. Tidak kampungan dan lebih modern. Herannya kenapa mereka bisa memberiku nama Sariyem Handayani seperti ini.
Sudah sepuluh tahun aku menggunakan nama Maya bila berkenalan dengan orang lain. Nama Sariyem Sri Handayani hanya tercantum pada KTP, SIM, rekening bank, ATM, kartu kredit dan identitas lain. Untungnya kantorku memperbolehkanku memakai nama Maya di ID card karyawan. Seluruh karyawan di kantorku, kecuali bagian HRD, juga tahunya aku bernama Maya. Mbak Maya, begitu mereka biasa memanggilku.
Saat ini pukul 19:00 dan aku sedang menunggu Joko di sebuah cafe dekat kantor. Dia lelaki yang sudah lima bulan ini menemani hari-hariku. Jangan tanyakan tentang namanya yang rada kampungan itu. Kalau kalian bertemu dengannya pasti tidak akan banyak protes dengan nama Joko itu. Badannya tegap, dadanya bidang, giginya rapih dan putih, wajahnya tentu saja tidak sekampung namanya. Mirip-mirip Jude Law. Itu dia datang dengan senyum manisnya dan kemeja biru tua favoritnya. Bersamanya aku merasa nyaman.
Pertemuanku dengan Joko terjadi saat aku sedang mempresentasikan beberapa contoh iklan yang telah kantorku kerjakan. Kantor Joko adalah salah satu klien baru perusahaan advertising tempatku bekerja. Maya, demikian aku memperkenalkan diriku pada Joko. Tentu saja waktu itu aku memanggilnya Pak Joko. Waktu itu Joko hanya tersenyum dan menatapku dengan tajam. Rasanya aku pernah memandang wajahnya entah dimana. Tapi aku tidak terlalu memikirkan hal itu karena berkonsentrasi sekarang pada presentasiku.
Keesokan harinya kantorku dihebohkan dengan adanya kiriman satu lusin karangan bunga Lily. Hei! Itu bunga favoritku. Beruntung sekali orang yang mendapatkannya. Resepsionis katanya sempat menolak bunga-bunga itu karena nama orang yang tercantum pada karangan bunga itu tidak ada di kantor ini. Si pengantar bunga tetap ngotot mengantarkan bunga tersebut karena katanya sudah dibayar dan alamatnya jelas tertera kantor ini. Akhirnya beberapa temanku mengambil karangan bunga tersebut dan menaruhnya di meja mereka masing-masing. Termasuk aku sendiri tentunya, tanpa tahu siapa si pengirim karena si pengantar bunga merahasiakannya.
Kemudian selama hari-hari berikutnya kiriman bunga itu terus datang. Kantorku sampai penuh sesak dengan bunga Lily. Bayangkan, setiap hari satu lusin karangan bunga. Karena penasaran, aku bertanya pada bagian resepsionis untuk siapa karangan bunga tersebut ditujukan. Bunga-bunga itu semua untuk Sariyem Sri Handayani. Sariyem Sri Handayani... Sa..ri...yem... Sri.. Han... da... dan tiba-tiba semuanya begitu gelap.
Bangun-bangun aku ternyata aku berada di sofa ruang meeting dengan ibu kepala HRD, Ibu Ida, disampingku. Astaga... tadi aku pingsan karena saking kagetnya mendengar namaku sendiri. Ibu Ida hanya tersenyum dan memberiku teh manis hangat. Beliau bilang tidak ada salahnya menerima dan mengakui nama yang telah diberikan orangtuaku karena tiap nama mempunyai arti dan harapannya masing-masing. Hari itu aku diijinkan pulang lebih cepat dengan diantar supir kantor. Ibu Ida yang baik tetap menjaga kerahasian nama asliku.
Sesampainya di rumah, ibuku bertanya kenapa pulang lebih cepat dari biasanya. Aku cuma bilang pusing dan langsung masuk kamar. Diam-diam aku menangis, benci dengan kepengecutan diriku untuk mengakui namaku sendiri. Umurku sudah 25 tahun dan sampai sekarang belum pernah menjalin kasih dengan siapapun. Hari-hariku diisi dengan mengejar karier. Sekarang ada seseorang yang mengirimiku lusinan bunga Lily dan aku tak bisa mengakui kalau bunga-bunga itu dikirimkan untukku. Aku tidak sanggup membayangkan apa tanggapan teman-teman kantorku kalau mbak Maya yang cantik, mbak Maya yang modis, mbak Maya yang sanggup meyakinkan klien dengan sekali presentasi, ternyata namanya Sariyem Sri Handayani.
Akhirnya aku jatuh tertidur dengan ditemani berbagai bayangan menakutkan didalam kepalaku. Aku terbangun oleh ketukan pada pintu kamarku. Ibuku bilang ada tamu dan katanya laki-laki. Mungkin teman kantorku karena berpakaian kemeja rapi. Hmm... siapa ya kira-kira yang datang menengokku. Biasanya teman-teman kantorku takut dekat-dekat denganku yang katanya galak. Mungkin karena itu juga aku sulit dapat pacar. Cantik dan galak bukanlah perpaduan yang cocok untuk dijadikan pacar.
Ternyata tamuku adalah Pak Joko. Dia datang karena katanya tadi mencariku di kantor dan mendapat keterangan bahwa aku pulang cepat karena sakit. Joko, kemudian dia memintaku memanggilnya tanpa embel-embel Pak, mengajakku makan malam hari Sabtu besok. Herannya aku mengiyakan saja, seperti sudah tersihir oleh pesonanya. Astaga, Joko ini ganteng sekali kalo dilihat, obrolan kami pun sudah seperti teman lama saja.
Semenjak aku jatuh pingsan, karangan-karangan bunga itu tidak pernah datang lagi. Hubunganku dengan Joko pun semakin dekat semenjak makan malam  di hari Sabtu itu. Aku pun juga mulai melupakan tentang lusinan karangan bunga, entah siapapun pengirimnya, dan pagi ini setelah lima bulan berlalu tiba-tiba kantorku mendapatkan lima lusin karangan bunga Lily yang ditujukan untuk Sariyem Sri Handayani. Ibu Ida hanya menatapku tajam dan aku hanya bisa pura-pura tidak peduli dengan bunga-bunga tersebut.
Teman-temanku pun mulai berceloteh: senang sekali si Iyem yang dapat bunga-bunga ini, dari kampung mana dia, kenapa bisa nyasar ke Jakarta, jangan-jangan dia itu Office Girl kantor sebelah yang dikejar-kejar Pak Lurah dari kampung, dan beberapa celotehan yang membuat kupingku panas. Ingin rasanya aku menghajar orang yang mengirim bunga-bunga tersebut.
Itu adalah kejadian pagi ini, dan sekarang didepanku ada Joko yang baru saja datang. Tiba-tiba didepanku ada seikat bunga Lily putih. Ini untukmu, kata Joko. Bunga favoritmu dari dulu. Darimana Jaka tahu bunga favoritku dan kenapa tiba-tiba dia berlutut didepanku? Joko mengeluarkan cincin dari sakunya dan mengatakan, “Sariyem Sri Handayani Prasetyoko, maukah kau menemani hari-hariku sebagai istriku?” Sariyem.... darimana dia tahu nama Sariyem itu dan bunga-bunga Lily ini. Jangan-jangan.... dan semuanya pun menjadi gelap lagi. Aku hanya sempat mendengar Joko mengatakan bahwa dia teman masa kecilku di kampung.


*Christie Nathalia*
 ini cerpen yg pernah dimuat di majalah SPICE edisi April '07.

Friday, October 27, 2006

ELEGI AMANDA

“Del, sudah siap belum?”
“Belum. Ntar lagi deh. Kamu duluan aja ke bawah. Aku masih harus nge-blow rambut dulu.“
“Ok, aku tunggu di bawah aja ya. Sambil manasin mobil. Tadi pagi belum dipake, kan?”
“Yup. Jangan lupa bawa kadonya sekalian ke mobil!”

DELLA
Kasihan Amanda. Dia pasti sulit untuk datang ke pesta kawinan Vieta dan Ryan malam ini. Dari tadi di kamar sudah satu jam lebih. Padahal biasanya dia cuma ngabisin waktu paling lama setengah jam untuk merias dirinya. Pasti dia lagi bingung untuk jadi pergi atau tidak.
Malam ini Manda akan bertemu dengan Martin dan Doni. Mantan-mantan Manda yang masih... ya mungkin masih bisa dibilang dicintai Manda. Dulu kami berempat kuliah di kampus yang sama. Martin di Hukum. Doni di Tehnik. Sedang aku dan Manda di Komunikasi. Vieta adalah teman Manda dan aku. Dia juga kenal dengan Martin. Sedangkan Doni datang karena diundang Ryan. Mereka dari semenjak kuliah dulu sudah berteman akrab.

AMANDA
            Duh, Tuhan. Andaikan aku tidak harus pergi malam ini. Pasti Martin dan Doni datang ke pesta nanti.Martin... apa dia masih ingat aku setelah lima tahun gak ketemu. Sekarang aku nggak lagi memakai kacamata. Rambutku pun sudah panjang. Dulu kamu kan selalu ingin aku berambut panjang.
            Doni... dengan segala kesederhanaan, kesabaran dan hatimu yang baik, membuatku tak bisa melupakanmu. Bukan berarti Martin lebih baik darimu. Tapi kalian masing-masing mempunyai kelebihan yang saling melengkapi. Kriteria laki-laki yang aku impikan ada di kalian berdua.

DONI
            Manda... adakah dirimu masih seindah dulu. Dulu ketika kamu masih memberikan cintamu padaku seorang. Aku yang mencintaimu dengan tulus bahkan tidak bisa menyadari bahwa kamu ternyata juga mencintai Martin.
Waktu itu aku dan kamu sudah menjalin hubungan selama enam bulan ketika pada suatu sore aku melihat kamu sedang duduk di bangku taman belakang kampusmu. Ada seorang lelaki disebelahmu. Aku tidak tahu apa yang sedang kalian bicarakan. Yang jelas, pada saat itu kamu menangis. Kalau saja pada saat itu Della tidak menarikku ke kantin, pasti aku sudah tahu apa yang sedang kalian bicarakan saat itu. Termasuk apa yang menyebabkan kamu menangis.
Della mengatakan padaku bahwa lelaki itu adalah Martin. Martin? Apa?! Anak hukum? Apa yang sedang dia lakukan dengan gadisku? Dia kan beda fakultas? Della tidak bisa menjawab pertanyaanku. Dia waktu itu cuma minta aku untuk kasih waktu ke kamu untuk menyelesaikan masalahnya. Masalah apa?

MARTIN
            Amanda sayangku... Malam ini aku kan bertemu kamu lagi. Apakah kamu masih bisa memaafkan diriku. Setelah aku meninggalkanmu tanpa kabar berita dan kembali lagi untuk mengharapkan cintamu disaat sudah ada Doni disisimu.
Kita jadian waktu kamu masih semester dua. Sedangkan aku semester enam. Aku bahagia sekali waktu itu bisa berjalan bersama gadis yang menjadi incaran anak-anak Komunikasi. Jarang sekali anak Hukum yang bisa jadian dengan anak Komunikasi. Mungkin karena anak Hukum cenderung lebih ‘lusuh-lusuh’ dibandingkan anak Komunikasi yang lebih ‘bersih’ dan chic.
Setahun jadian dengan kamu adalah saat-saat terindah dalam hidupku, sebelum kejadian buruk itu menimpa keluargaku. Ibuku terganggu jiwanya karena ayahku ternyata mempunyai wanita simpanan. Atas saran keluarga ibuku, beliau akan dimasukkan di rumah sakit jiwa yang ada di daerah Jogja. Katanya di sana lebih sejuk dan akan lebih mudah bagi ibuku untuk mengembalikan kesehatan mentalnya.
Tanpa kabar atau mengirim pesan padamu, aku meninggalkan Jakarta. Aku malu atas keadaan keluargaku. Marah pada ayahku, juga kasihan pada ibuku. Kuliahku pun pindah ke Jogja. Disana ada satu universitas yang bisa menerimaku tanpa aku harus mengulang kuliah lagi dari semester awal.
Berpuluh SMS darimu tidak kubalas. E-mail darimu juga tak satupun kubaca. Semuanya masih tersimpan rapi di mailbox e-mailku. Aku meninggalkanmu saat itu dengan hati yang perih.

DELLA
            Salah Martin juga sih saat itu meninggalkan Manda tanpa kabar berita. Berhari-hari Manda tidak mau keluar dari kamar kostnya untuk kuliah. Keluar kamar paling hanya untuk ke kamar mandi, beli makan di warung, terus masuk lagi ke kamar. Sampai teman-teman kost harus menariknya paksa dari kamar dan mendudukkannya di depan cermin besar yang ada di ruang tamu.
Manda, wajahmu saat itu kuyu sekali. Teman-teman bilang kamu itu punya wajah cantik. Sayang kalo hanya disimpan di kamar terus, tak terawat. Banyak laki-laki yang dengan senang hati menggantikan posisi Martin di hatimu.
Namun, ternyata tak ada yang dapat menggantikan Martin lagi. Memang kamu kembali menjadi gadis yang ceria dan menarik. Tapi aku tahu bahwa kamu menjadikan hatimu beku sedingin es. Aku yang kasihan padamu kemudian mulai menjodohkanmu dengan Doni.
Ternyata kesabaran, ketulusan dan perhatian yang diberikan Doni berhasil membuat hatimu mencair. Tiga tahun setelah kepergian Martin, kamu mulai membuka hatimu. Pada Doni memang aku tidak menceritakan tentang Martin. Aku berharap Manda sendiri yang akan cerita tentang ini ke Doni.

AMANDA
            Kabar terakhir yang kudengar, ibu Martin sudah sembuh dan mulai bisa menjalani kehidupan secara normal. Beliau tetap tinggal di Jogja. Teman-teman bilang, Martin sudah kembali lagi ke Jakarta karena pekerjaan. Aku tahu tentang keadaan ibunya yang terganggu jiwanya juga dari mulut Martin sendiri.
Waktu itu aku sedang duduk di bangku taman belakang kampusku. Tempat favorit aku duduk sambil membaca buku. Aku menemukan tempat asyik ini bersama Martin. Biasanya kita saling menceritakan aktivitas masing-masing di tempat ini. Setelah Martin pergi tanpa berita, hanya Doni yang kubiarkan menempati tempat disebelahku ini. Bangku yang hanya muat untuk dua orang ini tak kuijinkan untuk ditempati orang lain selain Martin dan Doni.
Kertas-kertas yang sedang kutulisi tugas kuliah tiba-saja saja terbang terkena angin. Aku kelabakan memunguti kertas-kertas itu ketika tiba-tiba saja ada tangan yang memegang pundakku dari belakang. Astaga! Aku tak sanggup mengatakan apapun ketika menoleh ke belakang. Wajah yang sangat kurindukan selama tiga tahun lebih. Wajah yang selalu hadir di setiap mimpiku. Kemudian suaranya ketika mengucapkan namaku... adalah suara yang selalu kurindukan untuk kudengar.
Martin. Kenapa tiba-tiba kau hadir kembali di kehidupanku setelah aku sudah hampir berhasil melupakanmu? Tiba-tiba kamu memelukku dan aku pun mulai menangis. Rasanya hatiku menjadi hangat hanya karena sebuah pelukan.
Kemudian kamu membimbingku untuk duduk dan mulai meminta maaf karena telah meninggalkanku. Aku masih terlalu syok dengan kedatanganmu. Di sela-sela isak tangisku, aku hanya bisa mendengar bahwa alasanmu pergi adalah karena kesehatan mental ibumu. Selebihnya aku hanya ingat kalau Della menghampiriku dan kemudian berbicara denganmu, kemudian meninggalkanku lagi berdua denganmu.

DONI
            Setelah aku melihatmu menangis di taman, kebiasaanmu mulai berubah. Kamu tidak mau lagi duduk di bangku taman belakang. Bangku favoritmu. Kamu juga tak mau lagi makan di resto favoritmu, menyantap sup asparagus kesukaanmu bersamaku. Bahkan kamu tidak lagi meminjam VCD di tempat rental yang biasanya. Kamu beralih ke tempat rental yang hampir dua kilometer jauhnya dari kostmu. Aku tidak masalah sih menemanimu kemana pun kamu mau pergi. Tapi perubahan ini begitu mendadak. Tepat setelah kejadian kamu menangis di taman.
            Berulang kali aku menanyakan siapa lelaki itu, yang bersamamu di taman waktu kamu menangis. Kamu hanya mengatakan kalau dia adalah teman lama dan kamu menangis karena matamu kemasukan debu. Della yang kutanya mengenai masalah ini juga tak mengatakan apapun. Dia menyuruhku menanyakannya sendiri padamu.
            Teman-teman kampus yang kutanya juga tak banyak tahu tentang siapa laki-laki itu. Ada satu anak Komunikasi yang mengatakan bahwa itu mungkin saja Martin, mantan kekasihmu. Bodohnya, aku memang tidak pernah menanyakan masa lalu Manda, siapa saja kekasihnya atau pun apa alasan Manda putus dengan mereka. Aku anggap itu adalah masa lalu Manda.
            Aku hanya percaya saja bahwa Manda tidak akan mengkhianatiku. Aku sangat yakin dia hanya mencintaiku seorang. Sikapnya padaku tidak berubah. Hanya kebiasaannya saja yang berubah. Sampai kemudian sebulan sebelum acara wisuda kami berdua, Amanda memutuskanku.
            Kita putus saja ya, Don. Kalimat yang membuatku terhenyak cukup lama di ruang tamu kost Manda. Apa aku tidak salah dengar? Kita berdua tidak sedang bertengkar. Bahkan bisa dibilang hubungan kami berdua baik-baik saja. Aku bahkan baru saja mengantarmu pulang setelah makan malam berdua. Malam itu kamu terlihat sangat cantik dengan gaun biru dan cardigan putih.
            Apa ada laki-laki lain, Manda? Manda hanya terdiam dan menitikkan air mata. Aku peluk dia dan dia pun mulai bercerita tentang Martin. Tentang bagaimana Martin dulu meninggalkannya dan begitu terpuruknya dia. Juga bagaimana aku telah dapat membuatnya jatuh cinta lagi.
            Tapi sayangnya ternyata Manda masih mencintai Martin juga. Selama ini dia berusaha menekan perasaan ini dihatinya. Kemunculan Martin di taman menyadarkan Manda bahwa ternyata selain mencintai diriku, dia juga mencintai Martin. Dia tidak bisa memilih antara aku atau Martin. Karena itu dia ingin memutuskanku, tapi juga tidak ingin menjalin hubungan dengan Martin.
            Karena itu pula kebiasaannya ada yang berubah. Ternyata taman tempat aku dan Manda biasa membaca buku bersama adalah tempat dia dan Martin saling menceritakan aktivitas masing-masing. Restoran tempat aku dan Manda biasa makan sup asparagus adalah tempat dia dan Martin juga biasa makan sandwich bakar berdua. Dan bisa ditebak bahwa rental VCD itu adalah tempat dimana Martin biasanya menemani Manda menyewa VCD.

AMANDA
            Semenjak Martin menemuiku di taman, hatiku jadi tidak menentu. Martin mengatakan padaku bahwa dia masih mencintai dan mengharapkanku. Padahal saat itu aku sedang menjalin hubungan dengan Doni. Aku katakan padanya bahwa aku tidak bisa menerima dia kembali setelah dia meninggalkanku tanpa kabar berita.
            Setelah pertemuan itu, aku tidak pernah bertemu Martin lagi. Martin kadang-kadang masih meng-SMSku. Tapi tidak pernah kubalas. Aku merasa tidak enak pada Doni. Pertemuan dengan Martin juga membuatku sadar bahwa aku masih membawa bayang-bayang dirinya dalam hubunganku dengan Doni.
Aku putuskan bahwa aku akan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang biasa kujalani dengan Martin dan Doni dan membuat kebiasaan baru. Mungkin dengan begitu aku bisa berpikir jernih dan memutuskan untuk mencintai siapa, atau lebih mencintai siapa dibanding siapa.
Ternyata sampai sebelum wisuda aku masih belum bisa memutuskan. Akhirnya aku memilih untuk mengakhiri hubunganku dengan Doni. Aku tidak bisa bersamanya saat bayang-bayang Martin masih hadir dalam hatiku.
Doni tidak bisa menerima keputusanku ini dan menyalahkan Martin atas semua yang terjadi. Aku berusaha keras untuk meyakinkan dia bahwa ini bukan kesalahan Martin. Ini semua adalah karena diriku tidak dapat memilih salah satu dari kalian. Aku mencintai Martin. Aku juga mencintai Doni.

DONI
            Halo sayang. Sudah sampai mana? Oh, masih di rumah nunggu Manda. Ya sudah, jangan terlalu buru-buru. Take time. Aku lagi di jalan nih, menuju tempat reuni. Sampai ketemu di sana ya.

DELLA
            Barusan telepon dari Doni. Manda gak tahu kalau sudah tiga bulan ini aku jalan bareng Doni. Kita ketemu di acara ulang tahun kantor. Ternyata kita kerja di perusahaan yang sama, tapi beda cabang. Doni mungkin masih belum bisa melupakan Manda, tapi dia sudah berusaha untuk memulai hidup baru bersamaku. Bahkan kemarin dia mengajakku bertemu dengan Martin dan mengatakan padanya bahwa Manda masih sangat mencintai Martin, dan bahwa mereka ditakdirkan bersama.
            Malam ini Martin akan berusaha untuk membuka lagi lembar cinta yang baru bersama Manda. Mereka berdua sudah terlalu lama dipisahkan oleh waktu. Hmm... semoga Manda bisa menerima Martin lagi. Aku yakin dia masih mencintai Martin.

AMANDA
            Martin... Doni.... Martin... Doni.... 


*Christie Nathalia*

Friday, June 23, 2006

Selalu Ada Saat Pertama….

Aku nggak keterima kerja di sebuah koran nasional terbesar. Sebagai wartawan atau reporter mula. Info ini kudapat dari teman yang juga ikut test. Sore tadi dia ditelepon bagian HRD, sedangkan aku tidak. Dari awal seharusnya aku sadar ya kalo jadi wartawan kayaknya gak mungkin buat aku. Teman-teman pelamar lainnya sudah bekerja sebagai wartawan- di berbagai media. Sedangkan aku? P

Pengalaman pertamaku menulis dimulai saat masih kelas 1 SMP lewat ekstrakulikuler Majalah. Waktu itu aku lebih banyak menulis puisi untuk ditempel pada Mading sekolah. Untuk majalah versi cetaknya aku malah lebih banyak memberi ilustrasi gambar. Kemudian saat kuliah aku mendapat kesempatan untuk membuat bulletin mudika di gerejaku. Pada saat itu aku menjabat sebagai Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi Mudika Paroki dan ide membuat bulletin berasal dari bidangku. Walaupun hanya sempat mengeluarkan 2 edisi, aku kembali bergabung di bulletin tersebut pada masa kepengurusan selanjutnya.

Di bulletin mudika yang baru ini setiap bulannya aku harus menghasilkan paling tidak satu tulisan. Hal ini membuatku mulai terbiasa menulis. Menulis rasanya sangat menyenangkan. Apalagi menjelang deadline, ide-ide biasanya malah baru muncul he he he… Selama dua tahun tulisan-tulisanku bisa dibaca oleh banyak orang. Selama dua tahun pula aku bisa melihat bagaimana reaksi dan komentar orang terhadap tulisanku. Ada yang bilang bagus, menyentuh, memberi informasi. Ada juga yang bilang membosankan. Semua komentar kutampung dengan baik dan kujadikan cambuk untuk terus menulis.

Proses menulisku mengalami kemandegan ketika aku bekerja di Jogja. Aku gak punya computer di kost-kostan, sedangkan aku terbiasa menulis pakai computer. Bolpoint dan kertas tidak berguna banyak untukku. Tapi untuk tugas-tugas kantor aku masih dapat menggunakan kemampuan menulisku. Untuk membuat peraturan perusahaan dan peraturan-peraturan baru, juga saat menulis proposal untuk membuat kegiatan kantor. Seandainya bos-ku memperbolehkanku mengerjakan tulisan setelah jam kantor.. tapi dia selalu berpendapat lembur itu tidak baik. Kalau bisa semua pekerjaan selesai pada jam lima sore. Setelah itu pulang dan istirahat di rumah.

Kemudian setelah aku kembali ke Jakarta setelah melepaskan pekerjaan di Jogja, aku membaca sebuah iklan lowongan menjadi wartawan atau reporter mula. Di situ tertulis prasyarat aktif di kegiatan penulisan di kampus. Menurutku ini kesempatan bagus untuk kembali menulis, apalagi bekerja dalam bidang penulisan. Karena biasanya iklan-iklan yang mencari reporter menginginkan mereka yang sudah berpengalaman kerja sebagai reporter, sedangkan pengalaman kerjaku kemarin adalah sebagai personalia.

Tes pertama adalah wawancara awal dengan bagian HRD dan staf redaksi. Aku lolos wawancara awal. Selama seminggu kedepan berikutnya aku mengikuti tes bahasa dan psikotest. Aku lolos lagi. Pelamar-pelamar yang lain sebagian besar sedang bekerja sebagai wartawan di media massa lain. Pada saat tes kesehatan aku baru tahu bahwa 8 orang dari 12 pelamar yang lolos ke tahap test kesehatan adalah wartawan-wartawan yang masih kerja di media. Gosh! Pengalaman mereka pasti sudah banyak sekali, dibandingkan aku yang bisa dibilang masih nol di bidang penulisan media massa.

Saat itu aku hanya berpikir bahwa akan selalu ada saat pertama bagi setiap orang dalam menjalani sesuatu. Ada saat pertama kita belajar berbicara, ada saat pertama kita berpacaran, ada juga saat pertama kita nabrak orang waktu naik motor. Selalu ada saat pertama dalam segala hal, entah itu buruk atau baik. Intinya aku merasa bahwa selalu ada saat pertama bagiku untuk menjadi reporter. Apalagi di lowongan tertulis bahwa koran nasional tersebut mencari reporter mula dan akan diberi pendidikan menulis.

Setelah test kesehatan ada wawancara terakhir dengan dewan redaksi, staf diklat, dan staf HRD. Pengumuman diterima atau tidaknya sebagai wartawan paling tidak ya akhir minggu ini. Karena minggu depan sudah mulai pendidikan. Ternyata sampai malam ini aku tidak mendapat telepon dari bagian HRD koran tersebut. Sedangkan temanku yang lain sudah ditelpon. Rasanya sedih banget. Aku pengen nangis, tapi untuk apa. Tokh semua sudah ada jalannya masing-masing. Selalu ada saat pertama mengalami kegagalan wawancara. Kalau aku tidak diterima bekerja di koran nasional tersebut mungkin memang belum waktunya.

Aku tidak tahu setelah ini bekerja sebagai apa karena semenjak melamar di koran tersebut, seluruh konsentrasiku tercurah untuk proses seleksi. Pada saat kita gagal selalu ada saat pertama untuk bangkit kembali. Setelah ini mungkin aku akan melamar sebagai designer interior. What? Kamu kan ga ada background sama sekali di bidang design. Ha ha ha… namanya juga bermimpi. Siapa tahu suatu hari nanti ada yang membiarkanku memulai saat pertama sebagai wartawan, designer, call center girl, hakim. Whatever!

Thursday, June 22, 2006

Untitled

What happen to Indonesia? Akhir-akhir ini kok banyak sekali bencana yang terjadi. Terus terang lama-lama aku seperti mati rasa saja. Pada Desember 2004 Aceh dihajar oleh tsunami. Sedih banget rasanya. Walaupun aku belum pernah kesana, tapi aku cukup punya alasan untuk bersedih. Beberapa bulan sebelum bencana tsunami terjadi di Aceh, aku membantu teman-temanku di sebuah INGO untuk mengumpulkan sumbangan berupa buku-buku pelajaran dan bacaan untuk anak-anak Aceh. Berbagai macam cara aku coba untuk memperoleh sumbangan, lewat e-mail, pengumuman di gereja, dan dari mulut ke mulut.

Buku-buku itu aku tata dan bungkus bersama ibuku. Di setiap buku itu ada doa yang terucap dari para penyumbang untuk anak-anak Aceh. Di setiap jahitan tali raffia yang membungkus kardus buku-buku ada tetes keringat kami bagi keberhasilan anak-anak dalam belajar. Tujuh kardus kemudian sampai di Aceh pada bulan Nopember 2004, sebelum hari raya Idul Fitri. Tidak sampai dua bulan mungkin anak-anak di Aceh sempat menikmati buku-buku itu dan terjadi tsunami yang menghapus mimpi-mimpi mereka untuk menjadi orang pintar. Oh Tuhan… aku sampai tidak bisa menguapkan apapun saking sedihnya. Betapa pilu hati ini. Begitu banyak yang hancur, begitu banyak yang terhempas, begitu banyak kedukaan.

Selama setahun setelah bencana tsunami, aku bekerja di Jogja. Lewat teman-teman sebuah INGO yang berkantor pusat di Jogja, aku mendapat banyak informasi tentang perkembangan pemulihan Aceh dan juga Nias (yang beberapa bulan setelah tsunami mengalami gempa). Penduduk di sana mulai bisa bangkit, memulihkan ekonomi dan terutama memulihkan jiwa yang terguncang.

Tinggal di Jogja membuatku jatuh cinta pada kota ini. Penduduknya ramah, makanannya murah dan enak, tidak macet, kemana-mana bisa naik motor, dan banyak alasan lagi. Kantorku yang di daerah Bantul mempunyai karyawan yang sebagian besar berumah di Bantul. Jogja terdiri dari 4 kabupaten dan 1 kotamadya. Karekteristik orang-orang kabupaten Bantul berbeda dengan kota Jogja.

Gempa bumi yang terjadi di Jogja terjadi setelah aku kembali ke Jakarta. Gempa yang mengoyak-ngoyak permukaan bumi. Meluluhlantakkan bangunan-bangunan rapuh para penduduk desa. Korban bencana kali ini tentu berbeda dengan tsunami di Aceh. Apabila di Aceh banyak korban yang meninggal, di Jogja banyak sekali yang terluka. Korban yang terluka ini membutuhkan penanganan yang lebih lama. Teman-teman kantorku banyak yang menjadi tunawisma saat ini. Padahal mereka adalah orang dari golongan pas-pasan. Gaji pas untuk makan saja. Untuk nabung juga jarang bisa.

Herannya pemerintah kok lambat sekali mengatasi masalah bencana ini. Banyak yang kelaparan, kedinginan, luka-luka karena bantuan terlambat datang ke tempat mereka berada. Dana untuk makan penduduk saja ada yang dipotong oleh kepala desanya. Duh, Gusti. Terkutuklah mereka yang mencari keuntungan di dalam kesengsaraan orang lain dan biarkan Tuhan yang melakukannya, karena itu adalah hakNya. Pemerintah kok seperti kotoran di jamban yang dengan sekali pencet tombol jamban maka akan hilang dan berkumpul dengan kotoran-kotoran lain di sungai. Layak dibuang karena tidak berguna.

Bencana yang paling parah di Indonesia sebenarnya adalah bencana hutang. Pemerintah kita suka sekali berhutang. Hutang luar negeri kita begitu bertumpuk. Untuk membayar hutang yang lama, pemerintah berhutang lagi. Dana-dana yang seharusnya dipakai untuk mensejahterakan rakyat digunakan untuk membayar hutang. Bukan tidak mungkin juga bahwa dana bantuan yang diberikan Indonesia untuk negara tetangga adalah juga hasil dari hutang.

Arrggh!!!! Aku marah-marah begini juga cuma nambahin dosa buat diri sendiri. Antara kesedihan dan kemarahan jadi satu. Jadi sorry aja kalau ada yang tersinggung setelah membaca tulisan ini. Gak perlulah masukin aku ke penjara yang kemudian cuma menuh-menuhin aja akhirnya. Lebih baik kita lakuin sesuatu yang lebih berguna. Mulai dari menyetop kebiasaan korupsi. Tunjangan untuk pejabat juga sebaiknya ditiadakan. Uangnya bisa untuk bayar hutang. Stop penjualan mobil mewah dan baju-baju bermerk! Rakyat Indonesia masih banyak yang harus menempuh jarak berkilo-kilo meter untuk menuju pasar dari rumahnya, dengan berjalan kaki. Punya 5 stel baju saja sudah bagus untuk mereka, apalagi untuk pakai baju bermerk.

Kita sebagai rakyat Indonesia yang hidup di kota yang bisa menikmati enaknya ngopi di gerai kopi dari luar negeri harusnya malu. Nasi yang kita makan sehari-hari berasal dari orang-orang yang hanya bisa menikmati kopi di tepi sawah. Itu pun juga setelah beras-beras mereka bersaing harga dengan beras-beras yang dimport oleh pemerintah. Gaji yang kita dapatkan setiap bulan mungkin lebih baik 20% dipotong dan dimasukkan ke dana sosial untuk rakyat. Dana tersebut bisa digunakan untuk kesejahteraan masyarakat dan sebaiknya TIDAK dikelola oleh pemerintah.

Aku memimpikan adanya sekolah gratis dan juga rumah sakit gratis untuk rakyat. Tetapi bukan sekolah gratis yang beratap langit dan gurunya hanya satu untuk dua kelas. Sekolah yang bangunannya baik, perpustakaan lengkap, gurunya pun banyak dan sejahtera. Anak-anak belajar untuk ilmu pengetahuan, bukan untuk mengejar nilai kelulusan Ujian Nasional. Rumah sakit gratis juga harus lebih banyak sehingga mudah dijangkau rakyat dan dokter-dokter dari kota juga sebaiknya mau ditempatkan di daerah (tidak mengejar balik modal karena biaya sekolah dokter yang mahal).

Kapan ya bisa seperti itu? Kapan ya Tuhan, dunia ini menjadi sempurna seperti impian banyak orang? Sepertinya tidak akan bisa menjadi sempurna, tapi kita dapat mengusahakan agar dunia kita bisa menyerupai sempurna. Terlalu idealis? Jawabannya ada di hati kita masing-masing.

Thursday, May 04, 2006

IRI

Aku iri…
Iri pada burung-burung yang bebas beterbangan
Pada anak-anak yang tertawa di pinggir kali
     Aku iri..
Iri sekali…
Sampai ingin rasanya aku mematahkan sayap-sayap burung itu
Ingin aku menampar pipi-pipi halus anak yang tertawa
Aku iri…
Tidak ada yang boleh bebas selain aku!
Tidak ada yang boleh tertawa selain aku!
     Hanya aku… aku… dan aku…
Karena aku iri..
Dan itu semua sudah cukup.


*Christie Nathalia*
 ini puisi yg pernah dimuat di majalah SPICE edisi bulan apa lupa, yang jelas tahun 2006.

Monday, March 20, 2006

Korupsi Doa

Tema APP kali ini adalah mengenai introspeksi terhadap perbuatan
korupsi yang dilakukan oleh diri sendiri. Karena itu temanya bukan
Korupsikah Kamu, atau Korupsikah Dia, tapi lebih ke diri sendiri.
Mungkin bagi sebagian orang merasa tema ini kurang relevan bagi
gereja, karena biasanya korupsi itu dekat dengan orang-orang
pemerintahan, pengusaha, maupun orang-orang yang sudah bekerja.
Intinya mereka-mereka yang berhubungan dengan orang banyak dan
menghasilkan uang. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa negara kita
adalah negara ter-korup ketiga setelah Bangladesh dan Myanmar (correct me if i'm wrong).

Tapi yang sekarang akan kita renungkan bersama bukan korupsi yang berhubungan dengan uang, melainkan korupsi doa. Yup, kayaknya lebih pas buat segala kalangan, terutama mereka yang belum mendapat penghasilan sendiri. Ide ini muncul karena saya sendiri termasuk sering mengkorupsi doa.

Sebagai anak muda yang telah bekerja di luar kota dan jauh dari
keluarga membuat saya sering melakukan hal ini. Kalau biasanya di
Jakarta saya selalu berdoa setiap malam sebelum tidur, semenjak
bekerja tidak pernah dilakukan lagi. Kalau pun ingat paling-paling
hanya doa Bapa Kami dan Salam Maria, tidak ada percakapan pribadi
antara saya dengan Yesus. Saya mulai menggunakan waktu-waktu yang seharusnya saya gunakan untuk berdoa dan membangun hubungan pribadi dengan Yesus menjadi melakukan hal-hal kesenangan pribadi. Dimana hal tersebut sama sekali tidak menunjang perkembangan hubunganku dengan Yesus.

For example adalah hobi saya dalam membaca dan menonton film. Saya bisa tidur larut malam hanya untuk menghabiskan membaca novel seru terbaru atau nonton 2 vcd film non-stop. Setelah itu saya langsung tidur lelap tanpa doa malam. Keesokannya bangun telat, gak sempat doa pagi apalagi baca kitab suci, langsung ngantor. Almost everyday kejadian seperti ini berulang. Kadang saya sempat doa dan baca kitab suci, kadang juga tidak.

Sampai saya diberi tugas untuk nulis renungan dengan tema APP ini, dan setelah merenung ternyata saya sering korupsi doa dalam 24 jam waktu hidup saya dalam sehari. I know it's time to change. Aku harus perbaiki hubunganku dengan Yesus, karena ini akan menjadi dasar dari kehidupanku nantinya. Okelah, sekarang aku belum sampai korupsi uang, tapi nantinya kalau hubunganku dengan Yesus amburadul, aku pasti akan gampang tergoda untuk korupsi hal-hal lainnya.

So, korupsikah aku? Cuma kita pribadi yang bisa menjawabnya. Yang
jelas, it's time to change now. Mulailah dengan instropeksi diri
sendiri dan jadilah pribadi yang baru pada Paskah nanti.