Panggil aku Maya atau May, atau bisa juga May May.
Terserah orang mau memanggilku apa. Ibu dan ayahku biasa memanggilku Sri. Sariyem
Sri Handayani Prasetyoko adalah nama yang tercantum di akte kelahiranku. Nama
yang tidak pernah kusukai semenjak aku pindah sekolah ke Jakarta. Nama yang
terlalu berbau Jawa dan kampungan. Maaf, bukannya aku benci pada kampungku,
hanya aku merasa namaku agak ndeso,
gak modern. Ibuku saja namanya lebih modern, Cicilia Andiriani Wijanarko,
sedangkan ayahku Gatot Adi Prasetyoko. Tidak kampungan dan lebih modern.
Herannya kenapa mereka bisa memberiku nama Sariyem Handayani seperti ini.
Sudah sepuluh tahun aku menggunakan nama Maya bila
berkenalan dengan orang lain. Nama Sariyem Sri Handayani hanya tercantum pada
KTP, SIM, rekening bank, ATM, kartu kredit dan identitas lain. Untungnya
kantorku memperbolehkanku memakai nama Maya di ID card karyawan. Seluruh
karyawan di kantorku, kecuali bagian HRD, juga tahunya aku bernama Maya. Mbak
Maya, begitu mereka biasa memanggilku.
Saat ini pukul 19:00 dan aku sedang menunggu Joko
di sebuah cafe dekat kantor. Dia lelaki yang sudah lima bulan ini menemani
hari-hariku. Jangan tanyakan tentang namanya yang rada kampungan itu. Kalau
kalian bertemu dengannya pasti tidak akan banyak protes dengan nama Joko itu.
Badannya tegap, dadanya bidang, giginya rapih dan putih, wajahnya tentu saja
tidak sekampung namanya. Mirip-mirip Jude Law. Itu dia datang dengan senyum
manisnya dan kemeja biru tua favoritnya. Bersamanya aku merasa nyaman.
Pertemuanku dengan Joko terjadi saat aku sedang
mempresentasikan beberapa contoh iklan yang telah kantorku kerjakan. Kantor Joko
adalah salah satu klien baru perusahaan advertising tempatku bekerja. Maya,
demikian aku memperkenalkan diriku pada Joko. Tentu saja waktu itu aku
memanggilnya Pak Joko. Waktu itu Joko hanya tersenyum dan menatapku dengan
tajam. Rasanya aku pernah memandang wajahnya entah dimana. Tapi aku tidak
terlalu memikirkan hal itu karena berkonsentrasi sekarang pada presentasiku.
Keesokan harinya kantorku dihebohkan dengan adanya
kiriman satu lusin karangan bunga Lily. Hei! Itu bunga favoritku. Beruntung
sekali orang yang mendapatkannya. Resepsionis katanya sempat menolak bunga-bunga
itu karena nama orang yang tercantum pada karangan bunga itu tidak ada di
kantor ini. Si pengantar bunga tetap ngotot mengantarkan bunga tersebut karena
katanya sudah dibayar dan alamatnya jelas tertera kantor ini. Akhirnya beberapa
temanku mengambil karangan bunga tersebut dan menaruhnya di meja mereka
masing-masing. Termasuk aku sendiri tentunya, tanpa tahu siapa si pengirim
karena si pengantar bunga merahasiakannya.
Kemudian selama hari-hari berikutnya kiriman bunga
itu terus datang. Kantorku sampai penuh sesak dengan bunga Lily. Bayangkan,
setiap hari satu lusin karangan bunga. Karena penasaran, aku bertanya pada
bagian resepsionis untuk siapa karangan bunga tersebut ditujukan. Bunga-bunga
itu semua untuk Sariyem Sri Handayani. Sariyem Sri Handayani... Sa..ri...yem...
Sri.. Han... da... dan tiba-tiba semuanya begitu gelap.
Bangun-bangun aku ternyata aku berada di sofa
ruang meeting dengan ibu kepala HRD, Ibu Ida, disampingku. Astaga... tadi aku
pingsan karena saking kagetnya mendengar namaku sendiri. Ibu Ida hanya
tersenyum dan memberiku teh manis hangat. Beliau bilang tidak ada salahnya
menerima dan mengakui nama yang telah diberikan orangtuaku karena tiap nama
mempunyai arti dan harapannya masing-masing. Hari itu aku diijinkan pulang
lebih cepat dengan diantar supir kantor. Ibu Ida yang baik tetap menjaga
kerahasian nama asliku.
Sesampainya di rumah, ibuku bertanya kenapa pulang
lebih cepat dari biasanya. Aku cuma bilang pusing dan langsung masuk kamar.
Diam-diam aku menangis, benci dengan kepengecutan diriku untuk mengakui namaku
sendiri. Umurku sudah 25 tahun dan sampai sekarang belum pernah menjalin kasih
dengan siapapun. Hari-hariku diisi dengan mengejar karier. Sekarang ada
seseorang yang mengirimiku lusinan bunga Lily dan aku tak bisa mengakui kalau
bunga-bunga itu dikirimkan untukku. Aku tidak sanggup membayangkan apa
tanggapan teman-teman kantorku kalau mbak Maya yang cantik, mbak Maya yang
modis, mbak Maya yang sanggup meyakinkan klien dengan sekali presentasi,
ternyata namanya Sariyem Sri Handayani.
Akhirnya aku jatuh tertidur dengan ditemani
berbagai bayangan menakutkan didalam kepalaku. Aku terbangun oleh ketukan pada
pintu kamarku. Ibuku bilang ada tamu dan katanya laki-laki. Mungkin teman
kantorku karena berpakaian kemeja rapi. Hmm... siapa ya kira-kira yang datang
menengokku. Biasanya teman-teman kantorku takut dekat-dekat denganku yang
katanya galak. Mungkin karena itu juga aku sulit dapat pacar. Cantik dan galak
bukanlah perpaduan yang cocok untuk dijadikan pacar.
Ternyata tamuku adalah Pak Joko. Dia datang karena
katanya tadi mencariku di kantor dan mendapat keterangan bahwa aku pulang cepat
karena sakit. Joko, kemudian dia memintaku memanggilnya tanpa embel-embel Pak,
mengajakku makan malam hari Sabtu besok. Herannya aku mengiyakan saja, seperti
sudah tersihir oleh pesonanya. Astaga, Joko ini ganteng sekali kalo dilihat,
obrolan kami pun sudah seperti teman lama saja.
Semenjak aku jatuh pingsan, karangan-karangan
bunga itu tidak pernah datang lagi. Hubunganku dengan Joko pun semakin dekat
semenjak makan malam di hari Sabtu itu.
Aku pun juga mulai melupakan tentang lusinan karangan bunga, entah siapapun
pengirimnya, dan pagi ini setelah lima bulan berlalu tiba-tiba kantorku
mendapatkan lima lusin karangan bunga Lily yang ditujukan untuk Sariyem Sri
Handayani. Ibu Ida hanya menatapku tajam dan aku hanya bisa pura-pura tidak
peduli dengan bunga-bunga tersebut.
Teman-temanku pun mulai berceloteh: senang sekali
si Iyem yang dapat bunga-bunga ini, dari kampung mana dia, kenapa bisa nyasar
ke Jakarta, jangan-jangan dia itu Office Girl kantor sebelah yang dikejar-kejar
Pak Lurah dari kampung, dan beberapa celotehan yang membuat kupingku panas.
Ingin rasanya aku menghajar orang yang mengirim bunga-bunga tersebut.
Itu adalah kejadian pagi ini, dan sekarang
didepanku ada Joko yang baru saja datang. Tiba-tiba didepanku ada seikat bunga
Lily putih. Ini untukmu, kata Joko. Bunga favoritmu dari dulu. Darimana Jaka
tahu bunga favoritku dan kenapa tiba-tiba dia berlutut didepanku? Joko
mengeluarkan cincin dari sakunya dan mengatakan, “Sariyem Sri Handayani
Prasetyoko, maukah kau menemani hari-hariku sebagai istriku?” Sariyem....
darimana dia tahu nama Sariyem itu dan bunga-bunga Lily ini. Jangan-jangan....
dan semuanya pun menjadi gelap lagi. Aku hanya sempat mendengar Joko mengatakan
bahwa dia teman masa kecilku di kampung.
*Christie Nathalia*
ini cerpen yg pernah dimuat di majalah SPICE edisi April '07.