Friday, August 13, 2004

BERSAUDARA DALAM NASIONALISME

Kayaknya kok klise banget ya, mengaitkan ulang tahun kemerdekaan Indonesia dan nasionalisme. Tema yang berulang dan selalu kita temui dari sejak SD, bahkan sampai kuliah (mata kuliah Kewarganegaraan). Mungkin ada yang bosan, ada pula yang menganggap remeh masalah nasionalisme ini. Nah, berhubung sekarang lagi mau tujuh belasan, gak ada salahnya kita sedikit membicarakan soal nasionalisme.

Nasionalisme adalah sebuah paham yang menyatakan bahwa rasa kebangsaan (entah atas dasar persamaan nasib, entah atas dasar persamaan wilayah) dilihat sebagai perasaan utama dan cenderung dipakai untuk prinsip hidup secara personal atau secara publik. Secara luas juga dapat dikatakan bahwa nasionalisme menyatakan patriotisme (patria=tanah air) yang merupakan prinsip moral dan politik yang mengandung kecintaan pada tanah air, kebanggaan emosional terhadap sejarah dan ketersediaan diri untuk membela kepentingan-kepentingan bangsa.

Wawasan kebangsaan yang dianut bangsa kita adalah nasionalisme dalam arti luas, tidak berpaham nasionalisme sempit (chauvinisme). Nasionalisme dalam arti luas adalah rasa bangga dan cinta terhadap tanah air dan bangsa tanpa memandang rendah bangsa lain. Sungguh suatu paham yang mulia dan terpuji, walau dalam pelaksanaannya masih jauh dari sempurna.

Hal ini dapat kita lihat dari dalam negeri sendiri, konflik antar suku dan agama sangat sering terjadi. Mengakibatkan rakyat terpecah dalam kelompok-kelompok. Saudara satu bangsa saja dipandang rendah. Sungguh menyedihkan melihat semua ini terjadi. Sangat jauh berbeda dengan cita-cita para proklamator kemerdekaan kita.

Selain itu, nggak usah jauh-jauh deh, di Jakarta sendiri dapat kita lihat bahwa sekarang orang-orang hanya memikirkan diri sendiri, semakin memperkaya diri sendiri. Pembangunan pusat perbelanjaan dimana-mana. Butik-butik kelas dunia juga hampir semuanya ada di Jakarta. Sementara kita di Jakarta asyik makan siang di Café Wien trus beli sepatu merek Stuart Weitzman yang harganya jutaan, saudara kita di Pulau Buru untuk makan pun harus berbagi apalagi memakai sepatu bagus. Mayoritas orang Indonesia mulai tidak berpikir pada bangsanya lagi. Tapi berpikir bagaimana memperkaya diri sendiri, memperkaya kelompoknya. Sungguh ironis! Padahal rakyat kecil yang dibelit masalah ekonomi akan semakin mudah dipecah belah.

Mungkin kamu mulai berpikir, “So, what? Apa yang mesti gue lakukan? Gue udah ikut demo mahasiswa, menyumbangkan uang, membeli produk dalam negeri, ikut PEMILU. Trus apa lagi yang mesti gue lakukan?” Sebelum kamu mulai berpikir ke arah situ, ada baiknya kita bareng-bareng meresapkan makna nasionalisme yang intinya bangga dan cinta pada bangsa. Kita lihatlah orang Jepang, betapa mengglobalnya mereka. Tetapi nasionalisme orang Jepang diperlihatkan dengan kecintaan terhadap tanah air, bagaimana mereka membangun bangsanya, bagaimana mempertahankan budayanya di tengah-tengah globalisasi. Mereka bangga pada bahasanya dan tetap melaksanakan tata kramanya.

Bangsa kita dianugerahi alam yang begitu indah, yang kalo kita jelajahi satu persatu tak akan ada habisnya. Tetapi mengapa sebagian orang lebih senang pergi ke luar negeri? Kesannya kok ketinggalan jaman kalo belum pernah menghabiskan liburan ke luar negeri. Sementara orang luar negeri banyak yang ke negeri kita untuk menjelajahi alam yang indah dan belajar kesenian-kesenian tradisional yang sangat beragam. Mungkin ini juga disebabkan pengaruh media yang sangat kuat, dimana film-film barat yang masuk Indonesia menyebabkan sebagian masyarakat kita jadi kebarat-baratan. Era globalisasi ternyata justru semakin mengendorkan semangat nasionalisme kita.

Mumpung dirgahayu kemerdekaan Indonesia masih anget-angetnya, marilah sekarang coba kita renungkan makna nasionalisme secara pribadi. Pertama kali belajar jalan, kita menapak di bumi Indonesia. Bahasa yang kita ucapkan pertama kali adalah bahasa Indonesia. Kita tumbuh sehat berkat hasil bumi yang ditanam oleh saudara-saudara kita di tanah Ibu Pertiwi. Punya teman-teman dari berbagai suku bangsa dan agama. Ada yang Batak-Kristen, Sunda-Islam, Jawa-Katolik, dan lain-lain. Mau ganti kewarganegaraan pun kita tetap berkebangsaan Indonesia. It’s like something in your blood that you can never change it, no matter how hard you try. Darah kita sama dengan darah orang Aceh, Batak, Ambon, Dayak, dan lain-lain. Marilah kita berpikir untuk bangsa kita, tidak hanya untuk diri sendiri.

So, friends jangan sampai kalian lupa rasa nasionalisme yang ada di diri kalian masing-masing. Soalnya kayaknya gaung nasionalisme mulai terdengar samar-samar, nich.

Wednesday, August 11, 2004

HP Baru

Lirik kanan kiri, ternyata teman-temanku handphone-nya baru semua! Yup, ini udah mulai semester baru. Semuanya serba baru. Mulai dari tas sampai sepatu. Apalagi beberapa minggu kemarin sempat ada pameran handphone di daerah Senayan. Pastinya teman-temanku nggak ngelewatin kesempatan beli HP model terbaru. Padahal kayaknya HP mereka masih bagus deh, layarnya sudah berwarna dan bisa MMS juga, sama seperti HP-ku. Tapi… masih kurang integrated digital camera, alias kamera di handphone. Sekarang kan, lagi nge-trend koleksi foto dan tuker-tukeran foto via Bluetooth atau infrared di HP.

Pengen beli, nich! Kan, nggak gaul kalo aku juga nggak bisa ikutan tuker-tukeran foto. Terus kalo pas jalan ke mall lihat cowok cakep tinggal click… and wajahnya langsung tersimpan di HP-ku, hehehe… (ganjen banget!-red). Tapi aku nggak punya duit. Gimana, dong? Kalo minta ke ortu pasti nggak bakalan dikasih.

Hmmm…. apa tiap hari aku diam-diam ngambilin uang di dompet mama aja, ya? Kan nggak ketahuan tuch, kalo ngambilnya dikit-dikit. Ditambah uang tabunganku, maka… voila! Dalam sebulan aku udah bisa beli HP baru.

Tapi kalo dipikir-pikir lagi, bukannya itu dosa, ya? Mending nekad beli HP baru atau nggak beli HP baru? Apa iya, aku masih bisa bangga memakai handphone yang kudapat dari hasil mencuri uang mama? Apa kalau aku pakai HP baru teman-temanku bakal tambah banyak?

Iih… kayaknya aku nggak bakalan beli handphone baru deh. HP-ku yang sekarang masih cukup bagus untuk dipakai. Teman-temanku juga kayaknya nggak temenan sama aku hanya karena handphone. Dan terutama karena mencuri itu dosa, bo! Nanti tiap kali lihat HP baru itu, ada suara ‘maling… maling…’ idih, ogah amat!

Semoga sich, semua teman-teman yang lain juga punya pikiran sama seperti aku. Mencukupkan diri dengan apa yang ada di diri kita. Soalnya, denger-denger dari kakakku nich, di kalangan esmud (eksekutif muda) yang namanya ganti HP tiap bulan, mah, lumrah aja. Selain karena penampilan juga menentukan prestise, kartu kredit juga berperan di sini. Semua bisa dicicil!

Buat teman-teman semua, inget-inget aja deh ayat dari Ibrani 13:5 “Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu.”