Sunday, July 18, 2004

Pramoedya Ananta Toer

Siang yang begitu terik di stasiun kereta Bojong Gede, Bogor, tidak dapat menahan langkah BUANA untuk tetap menuju ke rumah Pramoedya Ananta Toer. Novel tetraloginya yang berjudul Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca, membuat BUANA ingin mengetahui lebih jauh pribadi sang penulis. Selain itu juga karena belasan buku-bukunya telah diterjemahkan ke dalam 38 bahasa, dan karena beliau juga termasuk salah satu calon pemenang Penghargaan Nobel Sastra.

Lelaki kelahiran Blora, 6 Februari 1925, ini mulai menulis sejak dia masih SD. Awalnya adalah karena dia pernah tidak naik kelas sebanyak tiga kali, sehingga ayahnya menjadi keras terhadapnya. Karena Pramoedya termasuk pendiam, maka dia melampiaskan perasaannya lewat tulisan. Hidupnya pun kemudian banyak dihabiskan di balik penjara. Di zaman revolusi kemerdekaan ia dipenjara di Bukit Duri Jakarta (1947-1949), dijebloskan lagi ke penjara di zaman pemerintahan Soekarno karena buku Hoakiau di Indonesia, yang menentang peraturan yang mendiskriminasi keturunan Tionghoa. Selama dalam penjara (1965-1979) ia menulis 4 rangkaian novel sejarah yang kemudian semakin mengukuhkan reputasinya.

Berbagai penghargaan yang diterimanya pun kebanyakan berasal dari luar negeri, karena bangsanya sendiri sibuk untuk memenjarakan dirinya. Berbagai siksaan dan penderitaan banyak dialaminya. Termasuk terpaksa kehilangan sebagian pendengarannya, karena kepalanya dihajar popor bedil selama di penjara. Ia menulis novel pertamanya, Perburuan (1950), selama dua tahun di penjara Belanda (1947-1949).

Beliau juga dianggap sebagai orang yang paling berpengaruh di Asia (selain Iwan Fals dari Indonesia) versi majalah Time dan telah memperoleh berrbagai penghargaan seperti PEN Freedom-to-Write Award, Wertheim Award dari Belanda, serta Ramon Magsaysay Award dari Filipina.

Menurut lelaki yang sangat suka merokok ini, riset dan dokumentasi sangatlah penting dalam menghasilkan suatu karya tulis. Oleh karena itu perpustakaan pribadinya penuh dengan kliping-kliping koran. Karena umurnya, maka beliau mempekerjakan karyawan untuk mengumpulkan kliping. Kliping-kliping yang sekarang dikumpulkannya adalah tentang geografi Indonesia. Apabila kemudian dia memenangkan Nobel Sastra, maka uang yang didapatkannya dipakai untuk membuat Ensiklopedi Nusantara.

Selain menceritakan berbagai pengalaman hidupnya, beliau juga
memberikan pesan bahwa semua orang yang sukses dalam hidupnya dimulai sejak masih kanak-kanak. Oleh karena itu apabila ingin menjadi penulis maka setiap hari harus meluangkan waktu untuk menulis. Menulis itu juga membutuhkan keberanian karena apa yang kita tulis menjadi tanggung jawab pribadi. Beliau juga menyayangkan kenapa sekarang bangsa Indonesia menjadi bangsa kuli terbesar di dunia karena tak punya kemampuan produksi. Orang muda sekarang dikatakan Pram sebagai generasi yang konsumtif.

Sebagai penutup, beliau mengatakan bahwa tulisan yang bisa disebut sastra adalah yang meningkatkan kesadaran manusia. Mengutip Multatuli, “Kewajiban manusia adalah menjadi manusia.”

Positif versus Negatif

Pernahkah kalian lagi ngerasa bete lalu rasanya orang-orang
di sekitar kalian menjadi menyebalkan semuanya? Atau buat yang lagi putus cinta, hidup rasanya tak bermakna tanpa kehadiran sang kekasih (ceilah… gombal banget!-red). Apa pun itu, yang jelas perasaan negatif yang kita rasakan itu terbawa juga ke cara pandang kita. Dunia yang tadinya penuh warna, sekarang menjadi seperti foto black and white.

Sebuah penelitian mengatakan bahwa apa yang kita rasakan akan sampai ke otak, dan kemudian otak akan mengirimkan pesan ke seluruh tubuh. Jadi apabila kita merasa sedih, maka otak akan mengirimkan pesan ke mata supaya menangis, tubuh menjadi lemas. Sedangkan apabila kita lagi marah dan bete, secara otomatis tubuh kita jadi terasa tegang, kepala tiba-tiba jadi pusing, dan lain-lain.

Untuk mengatasi perasaan-perasaan negatif itu, semuanya tergantung dari sikap mental yang kita ambil. Sikap mental itu nantinya akan menentukan dunia seperti apa yang kita pilih. Kita bisa selalu happy dan mencapai sukses besar, atau menjalani hidup sengsara yang tidak punya harapan. Pilihannya ada di tangan kita.

Sikap mental itu harus diubah dari dalam ke luar. Mulai dari diri
sendiri. Sebanyak apapun nasehat yang kita terima, tidak akan bermanfaat apabila diri kita sendiri tidak mau berubah. Selain itu kita juga harus bersikap terbuka terhadap segala pemikiran orang lain. Sikap tertutup akan membangun benteng antara kita dengan dunia luar. Akibatnya kita tidak dapat menyerap energi positif dari orang-orang disekeliling kita.

Saya pernah berkenalan dengan seseorang yang bersikap tertutup terhadap pemikiran orang lain. Dia bersikap begitu karena kalau dia berubah dan mengikuti pemikiran orang lain, maka dia tidak menjadi dirinya sendiri. Salah satu contohnya adalah, ketika saya mengatakan padanya untuk sedikit berbasa-basi ketika berbicara dengan orang yang lebih tua, dia mengatakan tidak biasa seperti itu. Dan kalau dia berbasa-basi berarti dia tidak menjadi dirinya sendiri yang selalu berkata apa adanya. Akibatnya sekarang di lingkungan tetangganya dia menjadi pribadi yang tidak begitu disukai.

Karena itu pilihan untuk bersikap mental positif ada di tangan kita masing-masing. Apakah kita mau memandang segala sesuatu dari sisi negatif? Atau mencari segi positif dari setiap kejadian yang kita alami? Jika kita memilih untuk mengembalikan hidup di jalur yang positif, kita akan mengubah hidup menjadi lebih baik. Kita juga akan secara positif mempengaruhi orang-orang yang berhubungan dengan kita. Dengan begitu kita juga turut menjadi terang dunia.
“Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik, dan memuliakan Bapamu yang di sorga.” Matius 5:16.