Saturday, January 19, 2008

RINDU CYNTHIA

Aku tidak menyangka akan mendengar lagi lagu ini. Terutama di tempat yang tidak pernah terbayangkan. Komplek pemakaman. Ya, saat ini aku sedang berada di komplek pemakaman di selatan kota Jogja dengan seikat bunga segar berada di tanganku. Saat melewati mobil Honda Jazz silver lagu Dealova-nya Once terdengar dari dalam mobil yang terparkir di komplek tersebut.
Jendela mobil yang terbuka membuatku bisa dengan jelas mendengar lagu itu. “Aku ingin menjadi sesuatu yang mungkin bisa kau rindu.… Kau seperti nyanyian dalam hatiku yang memanggil rinduku padamu. Seperti udara yang ‘ku hela, kau selalu ada. Hanya dirimu yang membuatku tenang. Tanpa dirimu kumerasa hilang dan sepi…”
Ingatanku kembali pada dua tahun yang lalu saat awal bekerja di kota gudeg ini. Aku masih bisa dengan jelas mengingat aroma tubuhnya. Tanganku juga masih merekam genggaman tangannya yang erat kala aku berjalan disampingnya. Aku benar-benar masih merindukannya. Merindukan Reno.
Saat itu dia dan aku bekerja di kantor yang sama. Aku di bagian keuangan, dia bagian pemasaran. Kedekatan kami terjadi karena sebagai kepala bagian pemasaran dia sering berdiskusi denganku mengenai perkiraan harga barang yang kantor kami produksi.
Mulanya hanya makan siang bersama teman-teman kantor juga, tapi lalu berlanjut ke makan malam yang hanya  berdua saja.
“Cynthia, nanti malam ada acara? Aku ingin mengajakmu makan malam di luar.”
Saat itu aku begitu kaget dengan ajakan Reno dan tanpa sadar kepalaku malah mengangguk. Jadilah malam itu jam tujuh tepat dia sudah menunggu di pintu pagar kost-ku. Reno memakai kemeja warna merah marun dan jeans hitam. Aku sungguh mengagumi penampilannya malam itu. Kulitnya yang putih, kalau tidak mau dikatakan pucat, begitu kontras dengan warna kemejanya.
Malam itu ternyata menjadi saat pertama dan terakhir bagiku untuk bisa makan malam berdua. Karena seminggu setelah itu Reno masuk rumah sakit. Kejadiannya begitu tiba-tiba karena Reno ditemukan pingsan di ruang arsip dan segera dilarikan ke rumah sakit. Teman-teman yang tahu aku dekat dengan Reno langsung memintaku untuk ikut mengantar Reno dalam mobil ambulans.
Hatiku saat itu begitu kalut dan pada saat itulah aku menyadari bahwa ternyata aku sudah sejak lama mencintai dia. Aku dapat begitu dengan mudah mengingat setiap detil dari dirinya. Cara dia berjalan, tatapan matanya kala menatapku, aroma tubuhnya setiap kali selesai bermain badminton dengan teman kantor. Semuanya begitu jelas terekam di otakku.
Dokter mengatakan bahwa Reno terkena penyakit kanker darah atau Leukimia. Hal ini diketahui dokter rumah sakit setelah mengontak rumah sakit di Jakarta tempat Reno biasanya menjalani perawatan radiasi. Sudah setahun ini Reno tidak pernah menjalani perawatan lagi. Memang Reno termasuk karyawan yang rajin. Cutinya dalam setahun ini masih banyak tersisa, alias tidak pernah diambil.
Hari itu juga keluarga Reno dari Jakarta mulai berdatangan. Aku tidak pernah tahu bahwa keluarga Reno ada di Jakarta, bahkan aku tidak tahu kalau mereka termasuk keluarga pejabat. Aku cuma tahu Reno yang tinggi, putih, bermata jenaka, dan sederhana yang tinggal di kost daerah Gedong Kuning, bersama anak-anak mahasiswa.
Ibu Reno begitu melihatku langsung menghampiriku.
“Oooh, jadi ini yang namanya Cynthia. Gara-gara kamu, anak laki-laki saya satu-satunya bisa mati! Sudah satu tahun ini kami sekeluarga mencari dia kemana-mana,” cecar ibu Reno.
            “Pasti karena ketemu kamu dia jadi tidak mau pulang ke Jakarta!”
            “Sudahlah, Bu. Ini di rumah sakit. Sebaiknya kita segera mencari dokter yang merawat Reno,” ajak seorang perempuan yang kemudian aku ketahui sebagai adik Reno.
            Penyakit Reno yang parah membuatnya dalam keadaan koma selama seminggu. Pada hari ke enam semenjak Reno memasuki masa koma, seorang temannya memberiku sebuah CD. Katanya Reno yang menitipkan padanya dan menyuruh memberikan padaku jika suatu saat dia masuk rumah sakit dan tak sadarkan diri.
            Aku langsung lari ke toko kaset terdekat dari rumah sakit dan meminjam alat pemutar CD dan begitu headphone aku taruh di kepala, aku mendengar suara Reno.
            “Cynthia sayang, jika aku boleh memanggilmu seperti itu, saat ini pasti aku sedang dalam keadaan tak sadar sehingga kamu bisa mendapat CD ini. Sayangku, maafkan aku jika tidak pernah menceritakan tentang penyakitku padamu. Aku cuma tidak ingin membuatmu khawatir, apalagi aku baru mengenalmu selama 6 bulan. Aku tidak ingin membebanimu dengan masalahku.
            Cyn, sejak pertama aku mulai bekerja di kantor kita ini, aku sudah terpesona padamu. Kamu begitu anggun, lembut, tapi juga sekaligus tegas. Aku mengagumi kepribadianmu yang sederhana. Sangat berbeda dengan keadaan keluargaku. Tapi justru itu yang membuatku tertarik padamu.
            Mungkin aku memang tidak punya keberanian untuk mengatakan bahwa aku mencintaimu, sehingga membuat CD ini untukmu. Tapi yakinlah bahwa kehadiranmu di sisiku saat ini sudah sangat membuatku merasakan hidup yang sesungguhnya.
            Diagnosis dokter enam bulan yang lalu membuatku ingin melupakan segalanya. Kemudian aku lari dari Jakarta, meninggalkan keluargaku. Aku ingin menjalani kehidupan lain, dan saat itulah aku bertemu dengan dirimu. Aku mulai merasakan semangat hidup lagi. Aku ingin selalu berada disisimu, menjalani hidup bersamamu.
            Mungkin aku harus kalah oleh penyakit ini. Aku harus terbaring di rumah sakit dan tak menyadari kehadiranmu lagi. Sebelum aku mulai tak bisa merasakan segalanya, maukah kamu menggenggam tanganku apabila kamu menerima perasaanku ini? Tapi apabila kamu hanya menganggapku sebagai teman biasa, cukuplah CD ini kau buang di tempat sampah. Aku akan pergi dengan damai bagaimanapun perasaanmu padaku.
            Cynthia sayang, aku akan selalu merindukanmu. Terima kasih atas semua pelajaran hidup yang pernah aku rasakan saat bersamamu. Aku, Reno, akan mencintaimu selalu.”
            Begitu headphone kulepaskan dari kepala, lagu Dealova terdengar di ruangan.
“Aku ingin menjadi sesuatu yang mungkin bisa kau rindu.… Kau seperti nyanyian dalam hatiku yang memanggil rinduku padamu.
            Iya, Reno, aku mencintaimu dan akan selalu merindukanmu. Aku langsung berlari ke rumah sakit. Tanpa mempedulikan ibu Reno yang memandangku dengan tatapan sinis, aku menggenggam tangan Reno dan kubisikkan di telinganya bahwa aku juga mencintainya. Keesokan harinya Reno meninggal dengan tenang.
            Untuk melupakan kenangan pahit itu aku pindah ke Jakarta. Namun, tahun ini aku begitu ingin ke Jogja dan ternyata Reno ‘menyambutku’ dengan lagu itu. Sesaat aku bergeming. Sebuah tangan tiba-tiba merangkul pundakku.
            “Ayo, Cynthia. Kita harus ke makam Reno untuk meminta restu darinya.”
Itu adalah Andi. Dia adalah lelaki yang mencoba menghilangkan luka di hatiku, bahkan dia pula yang mengajakku ke Jogja. Dia dapat merasakan bahwa Reno masih berarti di hidupku.
            Aku menoleh ke samping dan memandang wajahnya. Tak ada alasan bagiku untuk takut mencintai Andi. Aku hanya takut merasakan rasa kehilangan lagi. Sudah dua tahun berlalu. Aku harus melupakan luka itu dan tetap mengenang Reno di hatiku.
            Tanganku menggenggam tangan Andi dan kami menuju ke makam Reno. Akan aku tinggalkan semua lukaku di sana dan menjalani hidup baru bersama Andi. Aku yakin Reno juga menginginkan aku bahagia.

*Christie Nathalia*
(19 January 2008)